TEMPO.CO, Jakarta - Orang tua dari anak berkebutuhan khusus biasanya mendapati pertanyaan bertubi tentang kondisi buah hatinya. Ada dua sikap orang tua yang menghadapi situasi ini.
Pertama, orang tua yang menganggap pertanyaan tentang kondisi disabilitas anaknya sebagai bentuk gangguan dari luar. Musababnya, mereka sudah berulang kali menyampaikan cerita yang sama. Orang tua dari kelompok ini juga kerap menilai pertanyaan tentang kondisi disabilitas anak sebagai bentuk penolakan lingkungan terhadap anak mereka.
Kelompok kedua adalah orang tua yang menganggap pertanyaan tentang kondisi disabilitas anak sebagai sebuah kesempatan mengedukasi dan mengadvokasi tentang kondisi seseorang yang berbeda-beda. Orang tua dari anak berkebutuhan khusus dalam kelompok ini dengan ringan menceritakan keadaan anak mereka dan tetap berbangga atas pencapaiannya.
Seorang Ibu dari anak berkebutuhan khusus, Khadijah mengatakan sudah 'kenyang' dengan pertanyaan yang berulang mengenai kondisi anaknya. Pertanyaan tersebut, menurut dia, lebih banyak muncul dari anggota keluarga besar. "Bagi beberapa orang tua dari anak berkebutuhan khusus mungkin merasa terganggu, bahkan dapat mempengaruhi stabilitas mentalnya," kata Khadijah dalam Webinar Parenting "Vitamin A bagi Anak Berkebutuhan Khusus" yang diadakan Sekolah Madania, Rabu 17 November 2021.
Putri Khadijah terdiagnosa Hidrocepalus Cerebral Palsy dan Epilepsi. "Saya mengalami up and down setiap keluarga besar mempertanyakan hal ini, saya sendiri bingung bagaimana menghadapinya," ujarnya.
Praktisi Pendidikan Inklusif dari Wahana Inklusif Indonesia, Tolhas Damanik mengatakan, reaksi dan permasalahan orang tua dengan anak disabilitas memiliki dinamika yang berbeda-beda. Orang tua dari anak berkebutuhan khusus memiliki tahapan yang lebih kompleks dari orang tua dengan anak non-difabel.
Tolhas menjelaskan, orang tua dari anak berkebutuhan khusus akan melewati tahapan krisis sebelum masuk tahapan acceptance atau penerimaan. "Ada krisis harapan, krisis nilai personal, serta krisis realitas," kata Tolhas dalam forum yang sama. Tahapan krisis ini pada akhirnya disertai tahapan afeksi dan acceptance dengan periode yang sangat panjang dan berbeda pada setiap orang. Bahkan, menurut dia, tahap penerimaan adalah sebuah periode belajar yang tiada habisnya.
Sebab itu, menurut Tolhas, masa naik dan turun setiap orang tua dari anak berkebutuhan khusus harus dapat dianggap sebagai realitas yang harus dihadapi. Termasuk di dalamnya berbagai pertanyaan mengenai kondisi disabilitas anak. Lulusan Master Pendidikan Inklusif dari Amerika yang juga penyandang disabilitas penglihatan ini menyarankan para orang tua tetap berbesar hati dan sabar dalam menjelaskan kondisi anak kepada orang lain.
"Tetap ceritakan kondisi anak yang sebenarnya menurut diagnosa profesional," katanya. Orang tua, Tolhas melanjutkan, jangan pernah merasa inferior atas kondisi anak.
Jika orang tua sudah dalam tahap acceptance atau penerimaan, mereka tak perlu khawatir menceritakan kondisi anak. Musababnya, orang tua sudah menerima keadaan anak mereka seutuhnya dan orang lain tidak berhak menghakimi. "Jadi, anggap saja pertanyaan itu sebagai bentuk perhatian."
Baca juga:
Echolalia, Metode Belajar Anak MDVI dalam Menyerap dan Mengekspresikan Informasi
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik Tempo.co Update untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram lebih dulu.