TEMPO.CO, Jakarta - Pemungutan suara pada Pemilu 2024 usai dilaksanakan dua hari lalu, namun pelaksanaannya belum menerapkan prinsip inklusifitas bagi pemilih dengan disabilitas. Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB Indonesia), Forum Masyarakat Pemantau untuk Indonesia Inklusif Disabilitas (FORMASI Disabilitas), dan Pusat Rehabilitasi YAKKUM, menemukan sejumlah fakta ketidaksinkronan antara kebijakan pusat yang menjamin hak suara penyandang disabilitas dan penerapan di lapangan.
“Faktanya hasil pemantauan ini menunjukkan bahwa penyelenggara Pemilu abai terhadap pemenuhan hak tersebut. Pesta demokrasi yang seharusnya dinikmati oleh semua orang, nyatanya tidak bagi difabel,” ujar Ranie Ayu Hapsari dari Pusat Rehabilitasi Yakkum, dalam siaran pers yang diterima Tempo, Kamis 15 Februari 2024.
Ada 223 TPS di 20 Provinsi untuk Difabel
Dalam pemantauan pemungutan suara yang dilaksanakan di lebih 223 Tempat Pemungutan Suara (TPS) di 20 Provinsi, masih ditemukan beberapa catatan yang menyebabkan hambatan signifikan bagi pemilih difabel dalam memanfaatkan hak pilih mereka.
Pertama, banyak tempat atau bangunan yang digunakan sebagai lokasi TPS tidak mudah diakses difabel. Di sebagian besar lokasi pemantauan, TPS berada di gedung atau bangunan cukup tinggi yang harus diakses dengan anak tangga. Ini menyebabkan pemilih difabel dengan keterbatasan mobilitas kesulitan mencapai bilik suara. Akibatnya, mereka harus mengandalkan bantuan petugas ketika hendak melakukan pencoblosan.
Mencoblos di Luar Bilik Suara
"Bahkan ditemukan pula sejumlah kejadian seperti pemilih difabel harus memilih di luar bilik suara dan di luar TPS karena kesulitan mengakses, dan pencoblosan disaksikan banyak orang," kata Ranie . Hal ini melanggar asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sebagaimana aturan penyelenggaraan Pemilu. Kejadian ini ditemukan salah satunya di TPS 020 Baturan, Sabdodadi Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
Penyandang disabilitas mencoblos dalam Pemilu 2024. Foto: Istimewa.
Kedua, ketiadaan alat bantu pencoblosan berupa template Braille untuk kertas suara DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Ketiadaan akses ini dikeluhkan oleh pemilih difabel sensorik netra sebagai pengabaian penyelenggara Pemilu atas jaminan bagi mereka untuk dapat memilih secara mandiri.
Kertas Suara Disabilitas Netra Hanya Pilpres dan DPD
Di semua lokasi TPS yang terpantau, template Braile yang tersedia hanya untuk kertas suara Presiden dan Wakil Presiden, serta kertas suara DPD RI. Selain itu, desain template Braille dengan kertas suara tidak dibedakan posisinya. Sehingga pemilih dengan hambatan penglihatan tetap membutuhkan bantuan petugas KPPS atau keluarga dalam pengunaan template Braille.
Ditemukan pula petugas KPPS yang hanya membolehkan pemilih difabel netra mencoblos dua surat suara, yakni Presiden dan DPD. Sementara tiga surat suara yang lain tidak diberikan karena petugas KPPS berdalih kalau peraturan KPU tidak mengizinkannya. Hal ini dengan nyata menghilangkan hak memilih bagi difabel netra untuk memilih calon legislatif DPR RI pusat hingga ke Kabupaten. Temuan ini terjadi di TPS 03 jalan Nusakambangan, Denpasar Barat.
Ketiga, juga ditemukan kurangnya pembekalan bagi petugas KPPS terhadap kelompok pemilih rentan. Di NTT misalnya, di TPS 003 desa Baumata Timur dan TPS 002 desa Kuaklalo, Kabupaten Kupang. Petugas KPPS enggan memberikan pelayanan kepada difabel yang diketahui keberadaannya untuk memilih. Selain itu, pemantau difabel yang bertugas di TPS 002 Desa Kuaklalo pun dilarang KPPS untuk mengambil gambar hasil perhitungan suara dan mengambil gambar dalam lokasi TPS.
Selanjutnya, Bahkan di Kota Kupang