TEMPO.CO, Solo - Widadi dua kali mengikuti seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil atau CPNS untuk menjadi guru sekolah luar biasa atau SLB. Dua kali ikut tes CPNS, dua kali pula lelaki penyandang disabilitas netra ini gagal. Namun dia tak putus asa atau berpangku tangan.
Baca: Beda Sistem Penilaian untuk Disabilitas dalam Tes CPNS
Lelaki 57 tahun itu bercita-cita menjadi pengajar. Semangat tersebut yang selalu dibawa hingga dia mendirikan Widadi Skill Center atau WSC. "Saya mengadakan kegiatan sendiri di SLB Yayasan Karya Amanah Bangsa (YKAB) Solo, mengajar baca tulis Al Quran menggunakan huruf braille," kata Widadi kepada Tempo, Rabu 28 Oktober 2018.
Widadi Skill Center atau WSC adalah lembaga pendidikan bagi tunanetra yang bertempat di rumahnya di Jalan Kana II Nomor 10b RT 1 RW 6, Kelurahan Mangkubumen, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta. Sejak 2008, WSC meluluskan sekitar 90 siswa dengan beragam keahlian, mulai dari teknik pijat, baca tulis Al Quran braille, sampai keahlian mengoperasikan perangkat teknologi, seperti ponsel dan komputer.
Widadi, 57 tahun, tunanetra pendiri sekaligus pengajar di Widadi Skill Center (WSC) Surakarta, berpose di depan komputer yang biasa dia gunakan untuk mengajar. DINDA LEO LISTY / SOLO
Hingga kini Widadi Skill Center belum menjalin kerjasama dengan pihak pemerintah atau swasta. "Kursus di sini gratis. Biaya menghidupi sekolah ini dari penghasilan saya menjadi juru pijat. Jadi selain buat makan sekeluarga, penghasilan saya sisihkan buat membantu teman-teman sesama difabel netra," kata Widadi.
Widadi kehilangan kemampuan penglihatan sejak berumur tiga tahun. "Awalnya saya hanya sakit panas. Karena suhu tubuh terlalu tinggi, saraf mata yang kena, langsung total tidak bisa melihat. Orang zaman dulu menyebutnya penyakit raceken," kata Widadi.
Rumah Widadi di Kelurahan Mangkubumen, Kecamatan Banjarsari, Kota Solo. Selain untuk tempat tinggal keluarganya, di rumah ini Widadi memijat, mengajar di Widadi Skill Center (WSC) dan berorganisasi di Ikatan Tunanetra Islam Indonesia (ITMI) Solo. DINDA LEO LISTY / SOLO
Dia ingin menjadi guru karena terinspirasi dari besarnya jasa para guru SLB yang mendidiknya. Setelah lulus SMP, Widadi melanjutkan pendidikan ke SPG-LB (Sekolah Pendidikan Guru Luar Biasa, setingkat SMA) di Kabupaten Klaten. "Sejak kecil saya bercita-cita jadi guru SLB," kata Widadi yang lulus SPG-LB pada 1984.
Artikel lainnya:
Pendaftaran CPNS 2018 buat Disabilitas, Apa Masalah dan Solusinya
Saat masih bersekolah di SPG-LB hingga setelah lulus, Widadi juga mengikuti kursus pijat kebugaran sampai pijat refleksi telapak kaki. Berkat keahliannya memijat, Widadi sempat menjadi pengajar di Yayasan Kartika Destrarata Jakarta pada 1997 - 1999. "Yayasan Kartika itu yang punya istrinya Pak Hartono, Menteri Dalam Negeri pada masa itu," kata Widadi.
Papan nama jasa pijat di rumah Widadi yang telah berkarat. Widadi kini mengandalkan papan nama di Google Maps yang lebih memudahkan para siswa dan pelanggan pijatnya. DINDA LEO LISTY / SOLO
Setelah menikah, Widadi merintis usaha pijat di rumahnya. "Pada 2008, awalnya ada dua siswa SLB yang ke rumah minta kursus pijat kebugaran. Setelah itu ada lagi beberapa siswa SLB yang minta kursus pijat refleksi. Ada juga yang minta kursus baca tulis Al Quran braille. Sejak itulah saya mulai mendirikan WSC," kata ayah dua anak dan kakek dari dua cucu itu.
Selain membuka praktik pijat dan memberikan kursus pijat gratis, Widadi juga aktif berorganisasi di Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI). Kantor sekrerariat cabang ITMI menumpang di rumah Widadi sejak 2007. "ITMI dulu punya dua komputer, saya pun belajar mengoperasikannya. Sejak 2011 saya mulai mengajar komputer juga. Dimulai dari pengenalan keyboard, MS Word, MS Exel, MS Powerpoint, browsing, membuat akun email dan media sosial," kata Widadi.
Artikel lainnya:
Terapis Tunanetra Go-Massage Tak Suka Disabilitas Dikasihani