TEMPO.CO, Solo - Berlari adalah aktivitas yang telah begitu lama dirindukan Muhammad Fauzan, 32 tahun, setelah menjadi tunanetra di usia 11 tahun. Fauzan adalah seorang atlet lari dan lompat jauh dari Kabupaten Klaten untuk Pekan Paralimpik Provinsi atau Peparprov III/2018 Jawa Tengah di Kota Surakarta.
Baca: Adik Prabowo Miris Pemijat Tunanetra Kerap Dibohongi
"Saya langsung bersemangat saat teman saya, Imam, menyarankan agar ikut latihan atletik," kata Fauzan saat ditemui Tempo di Stadion Sriwedari Kota Surakarta pada Kamis, 15 November 2018. Imam merupakan atlet difabel netra dari Klaten yang terjun di cabang olahraga catur untuk Peparprov III/2018 Jawa Tengah.
Setelah mendengar cerita tentang serunya menjadi atlet, Fauzan yang sehari-harinya membuka praktik pijat massage di rumahnya di Desa Gondang, Kecamatan Kebonarum, Klaten, itu membulatkan tekad bergabung di National Paralympic Committee atau NPC Klaten. Sejak Januari 2018, Fauzan mulai mengikuti program latihan rutin untuk persiapan Peparprov III/2018 Jawa Tengah.
Bersama sejumlah atlet lain, Fauzan berlatih di Stadion Trikoyo Klaten setiap Selasa dan Kamis dari pukul 15.30 sampai pukul 17.30. Karena disabilitas netra yang disandangnya, Fauzan hanya memilih lari dan lompat jauh dari beberapa jenis olahraga di cabang atletik. "Kalau tolak peluru, lempar lembing dan cakram itu sulit buat saya. Takutnya salah sasaran," katanya.
Baca Juga:
Meski pilihannya terbatas pada lari dan lompat jauh, Fauzan sangat senang bisa menekuni dua jenis olahraga tersebut. Sebab, dengan berlari sekencang-kencangnya dan melompat sejauh mungkin di bawah bimbingan pelatih sekaligus guide runner-nya, Fauzan merasa dapat menembus batasan yang selama ini mengungkung dirinya sebagai tunanetra.
Baca juga:
Atlet Difabel Fauzan: Keluarlah, Banyak Peluang yang Tak Disangka
"Kalau sudah masuk di lintasan, kuncinya harus fokus pada pertandingan, tidak berpikir macam-macam selain mengikuti arahan guide runner saya, Mas Wakhit Saifudin," kata Fauzan. Guide runner adalah pelari pemandu atlet tunanetra di cabang olahraga atletik. Sebagai penunjuk arah, guide runner berlari di samping atlet. Keduanya terhubung oleh sebuah gelang karet yang digenggam bersama.
"Setelah start langsung menikung lintasannya. Di situlah guide runner mengarahkan saya agar jangan sampai keluar jalur. Kalau sudah masuk lintasan lurus, guide runner menyemangati saya agar lari sekencang-kencangnya sampai garis finish," kata Fauzan.
Muhammad Fauzan (kiri), 32 tahun, atlet sprinter tunanetra asal Kabupaten Klaten bersama guide runner-nya, Wakhit Saifudin. Dinda Leo Listy / SURAKARTA
Peparprov Jawa Tengah III/2018 adalah debut perdana bagi Fauzan sebagai atlet profesional. Fauzan mengikuti tiga nomor pertandingan, yaitu lompat jauh, lari 100 meter, dan 200 meter di kelas T11. "Alhamdulillah, banggga sekali rasanya. Di ajang perdana ini saya bisa menyumbangkan medali perak di nomor lari 200 meter dan medali perunggu di nomor lari 100 meter untuk Klaten," kata Fauzan sambil tersenyum seraya menunjukkan kalung medalinya.
Pelatih sekaligus guide runner Fauzan, Wakhit Saifudin, mengatakan butuh waktu cukup lama untuk berlatih rutin bersama Fauzan demi menemukan kesesuaian masing-masing. "Untuk persiapan tampil di Peparprov ini, kami rutin berlatih sejak Mei," kata Wakhit yang baru lulus S1 Pendidikan Kepelatihan Olahraga Universitas Sebelas Maret Surakarta itu. "Atlet dan guide runner musti kompak di lintasan."
Artikel lainnya:
Tunanetra Sartono Berjalan Tanpa tongkat, Pakai Mata Batin
Sebagai tandem yang tak terpisahkan bagi atlet tunanetra, Wakhit mengatakan, guide runner bertugas sebagai mata yang mengarahkan sekaligus memberi tahu siapa saja lawan yang berada di dekat mereka serta berapa kira-kira jaraknya. "Menjadi guide runner harus memiliki kemampuan di atas atlet yang dipandunya sekaligus bisa menyeimbangkan dengan kemampuan si atlet. Jangan mendahului apalagi tertinggal," kata Wakhit.