TEMPO.CO, Jakarta - Aktivis penyandang disabilitas di Amerika Serikat memprotes penggunaan Artificial Intelligence atau kecerdasan buatan dalam proses perekrutan pegawai. Mereka menganggap proses perekrutan menjadi diskriminatif karena ada fitur kecerdasan buatan yang tidak terakses pelamar difabel.
Salah satu fitur seleksi yang tak terakses untuk difabel adalah psikotes dan penggunaan metriknya. Dalam dua unsur itu, setidaknya ada sembilan komponen penilaian yang mencakup sikap toleransi dan manajemen risiko. Pelamar difabel tak dapat mengetahui hasil tes dari unsur-unsur penilaian itu.
Bukan cuma tak bisa mengakses hasil psikotes. Saat pelamar dengan disabilitas masuk proses seleksi, mereka harus memilih tiga kategori difabel, yakni buta warna, ADHD, atau dislekia. "Kami wajib memilih satu meski kami menyandang ragam disabilitas yang lain," kata Henry Claypool, advokat sekaligus aktivis penyandang disabilitas, seperti dikutip dari situs Technology Review pada Rabu, 21 Juli 2021.
Jika pelamar difabel tidak memilih satu dari tiga ragam disabilitas tadi, menurut Claypool, maka mereka tak bisa mengikuti seleksi. Artinya, otomatis tereliminasi. "Ini mengkhawatirkan," ucapnya. Untuk diketahui, sejumlah perusahaan di Amerika Serikat menggunakan teknologi kecerdasan buatan dalam menyeleksi calon karyawan, terutama dalam tahap psikotes. Cara ini dianggap lebih efisien dan efektif untuk menyaring tenaga kerja.
CEO Center for Democracy and Technology, Alexander Givens mengatakan seharusnya teknologi kecerdasan buatan mampu mengakomodasi banyak kategori pencari kerja. Pertanyaan terbuka dalam Artificial Intelligence justru menguntungkan perusahaan karena mampu mengambil data sebanyak mungkin dari masyarakat, termasuk pencari kerja difabel.
"Data ini dapat digunakan untuk mencari bentuk seleksi yang tepat untuk berbagai ragam disabilitas," katanya. Givens mengakui ada banyak teknologi kecerdasan buatan yang gagal dalam mengidentifikasi potensi pencari kerja karena menerapkan proses seleksi tertutup.
Givens melanjutkan, harus ada perbaikan algoritma Artificial Intelligence agar dapat mengakomodasi kebutuhan pencari kerja difabel. "Jangan sampai teknologi seleksi ini menyingkirkan atau menutup peluang penyandang disabilitas untuk mendapatkan pekerjaan," ucapnya.
Lantaran banyaknya keluhan penerapan Artificial Intelligence dalam perekrutan tenaga kerja yang tidak terakses penyandang disabilitas, sebelas senator Amerika Serikat melayangkan surat pada Komite Kesetaraan dan Kesempatan Kerja untuk mengkaji penerapan proses seleksi yang menerapkan teknologi kecerdasan buatan. Dari sisi perusahaan, ternyata Artificial Intelligence yang tidak pas mengakibatkan bagian sumber daya manusia perusahaan itu menyeleksi dan mengidentifikasi ulang para karyawan baru.
Sayangnya, Komite Kesetaraan dan Kesempatan Kerja Amerika Serikat menyatakan tidak dapat melakukan investigasi ke perusahaan-perusahaan yang menerapkan teknologi Artificial Intelligence saat seleksi. Musababnya, setiap perusahaan dapat menggunakan satu atau lebih teknologi kecerdasan buatan sesuai kebutuhan mereka. Terlebih, ada banyak penyedia jasa seleksi yang menerapkan Artificial Intelligence ini.
Komite baru bisa menyelidiki jika ada kasus spesifik dari seleksi yang merugikan calon pelamar difabel. "Kami hanya dapat mengimbau perusahaan menggunakan teknologi kecerdasan buatan yang terakses bagi siapapun dan tidak merugikan calon pelamar," kata Keith Sonderling, Ketua Kesetaraan dan Kesempatan Kerja Amerika Serikat.
TECHNOLOGY REVIEW | CENTER FOR DEMOCRACY AND TECHNOLOGY
Baca juga:
Bagaimana Ketentuan Vaksinasi Covid-19 untuk Disabilitas?