TEMPO.CO, Jakarta - Angka pemasungan terhadap difabel mental di Indonesia meningkat 20 persen selama pandemi Covid-19. Hingga kini terdapat 5.200 penyandang disabilitas mental yang dipasung. Sejatinya pemerintah Indonesia sudah berkomitmen pada program bebas pasung, namun demikian pada kenyataannya praktik seperti ini masih terjadi di masyarakat .
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA, Kementerian Kesehatan, Siti Khalimah mengatakan, pemasungan terutama dalam kondisi pandemi Covid-19 saling berkaitan. Musababnya, ada kondisi tertentu yang harus dihadapi penyandang disabilitas mental agar tidak menyakiti atau membahayakan orang lain, baik keluarga atau pasangannya.
Siti Khalimah mencontohkan, di Nusa Tenggara Timur misalkan, ada difabel mental yang hanya tinggal berdua dengan istrinya. Di masa pandemi Covid-19 ini, menurut dia, keadaan relapse terhadap suami yang seorang penyandang disabilitas mental lebih sering terjadi. "Dia memukuli istrinya, maka terpaksa dipasung," ujar Siti Khalimah dalam jumpa daring bertajuk 'Perlindungan dan Pencegahan Penyiksaan serta Penghukuman yang Tidak Manusiawi Bagi Penyandang Disabilitas Mental' pada Rabu, 24 Maret 2021.
Meningkatnya kambuhan penyandang disabilitas mental selama pandemi Covid-19 antara lain disebabkan oleh keterbatasan bersosialisasi. Sebelum pemerintah memberlakukan pembatasan sosial, difabel mental sudah memiliki masalah dalam interaksi sosial. Sebab itu, ketika pembatasan sosial berlaku, maka mereka merasakan tekanan yang lebih besar.
Selain keterbatasan interaksi sosial, difabel mental juga kesulitan mengakses layanan kesehatan. Kendati sudah tersediaa 4.400 layanan kesehatan yang menyediakan konsultasi psikiatri di seluruh Indonesia, masih ada 5 provinsi yang belum memiliki rumah sakit jiwa.
"Kesehatan jiwa di Indonesia belum menjadi prioritas. Budayanya masih terkonsentrasi pada rumah sakit jiwa, terutama di kota-kota besar," kata Siti Khalimah. Ditambah lagi minimnya pengetahun keluarga ihwal bagaimana memperlakukan dan berinteraksi dengan penyandang disabilitas mental, yang pada akhirnya berakibat pada pengabaian.
Pengabaian ini kemudian berlanjut pada angka kekambuhan penyandang disabilitas mental. Tidak adanya pendampingan yang berkesinambungan membuat difabel mental kian rentan mengalami relapse. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan hanya sekitar 48 persen difabel mental yang secara teratur berobat. Sisanya, 52 persen tidak melanjutkan pengobatan atau bahkan tidak berobat sama sekali.
Baca juga:
Perempuan Difabel Mental Korban Kekerasan di Panti Sosial Kesulitan Mengadu