TEMPO.CO, Yogyakarta - Pencoblosan di Tempat Pemungutan Suara atau TPS 027 Kampung Danugeran, Kecamatan Mantrijeron, Kota Yogyakarta menyisakan pengalaman yang berulang bagi pemilik suara tunanetra yang berjumlah enam orang. Seorang pemilih tunanetra, Suripto, 63 tahun mengatakan template braille hanya tersedia untuk surat suara calon presiden dan Dewan Perwakilan Daerah.
Baca: Mengenal ITCFB, Komunitas Tunanetra Melek Teknologi Informatika
"Template braille tidak tersedia untuk surat suara DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kota atau Kabupaten,” kata Suripto di TPS 027 yang bertempat di SD Muhammadiyah Danugeran pada Rabu, 17 April 2019. Kondisi tersebut, menurut dia, sama seperti Pemilu 2014. Musababnya, jumlah calon legislatif yang tertera pada ketiga surat suara tersebut mencapai puluhan orang, sementara jumlah partainya ada 16 partai politik. “Kalau pun dibuatkan template braille, kami kesulitan mencoblosnya."
Ukuran surat suara untuk tunanetra lebih lebar karena memuat huruf braille. Sebaliknya, kalau ukuran surat suara sama, maka kolom huruf braille-nya jadi lebih kecil. Berbeda dengan surat suara untuk capres dan cawapres yang hanya terdiri dua pilihan dan calon DPD dari DIY yang memuat 11 nama. “Kalau bisa jumlah parpolnya sedikit saja seperti masa Orde Baru,” kata Suripto sambil tertawa. Dia sendiri menyiasati dengan mencari tahu dan menghafal sosok calon atau partai politik yang akan dipilihnya sebelum hari pencoblosan.
Suripto, 63 tahun, pemilih tunanetra menggunakan hak politiknya di TPS 027 Danunegaran, Yogyakarta, Rabu, 17 April 2019. TEMPO | Pito Agustin Rudiana
Suripto yang sehari-hari menjadi pemijat itu didampingi anaknya, Irma selama mencoblos di bilik suara. Irma membantu Suripto membuka surat suara dan melipatnya kembali. Untuk pencoblosan dilakukan Suripto sendiri. Setidaknya butuh tujuh menit bagi Suripto untuk mencoblos di dalam bilik suara. “Untuk surat suara legislatif, saya bantu menunjukkan letak yang akan dicoblos bapak,” kata Irma.
Artikel terkait: Pemilu 2019, Intip Kisah Difabel dan Lintasan Roda Dadakan
Pemilih tunanetra lainnya, pasangan Dwi Nugroho, 45 tahun dan istrinya, Siti Saadah, 41 tahun juga datang mencoblos setelah mengantre seperti pemilik suara lainnya. Mereka sama-sama didampingi kerabat ketika mencoblos. “Pihak TPS memang menyediakan pendamping, tapi kami lebih nyaman didampingi saudara,” kata Dwi.
Dia mengaku kerepotan untuk mencoblos surat suara calon legislatif yang lebar dan tanpa template braille. Sementara saat simulasi pencoblosan yang digelar Komisi Pemilihan Umum untuk para tunanetra beberapa waktu lalu hanya menggunakan surat suara yang memuat nomor contoh para calon, tanpa memuat nama sebagaimana surat suara asli.
“Jadi saat di TPS kami kesulitan mencari posisi untuk mencoblos karena berbeda,” kata Dwi. Dia mengusulkan dalam surat suara simulasi Pemilu selanjutnya mencantumkan nomer dan nama. Meskipun untuk nama bisa diganti, misalnya dengan nama buah-buahan.
Seusai mencoblos, Dwi juga kesulitan memasukkan surat suara ke dalam kotak-kotak suara yang terpisah karena dibedakan berdasarkan warna. Surat suara capres cawapres berwana abu-abu, DPR RI berwarnaa kuning, DPRD Provinsi berwarna biru, DPRD kota/kabupaten berwarba hijau, dan DPD berwarna merah. “Lebih baik pakai urutan angka dengan braille,” kata Dwi.
Baca juga: Ketika Tunanetra Turut Mengulas Film Mantan Manten