TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia atau PPDI, Gufroni Sakaril menyampaikan tiga faktor pemicu kesenjangan kesempatan kerja bagi difabel.
"Pertama, kesenjangan keterampilan; kedua, rendahnya tingkat pendidikan penyandang disabilitas; ketiga, masih banyak sikap dan praktik diskriminatif terhadap penyandang disabilitas," kata Gufroni pada Kamis, 9 September 2021.
Data indikator kesejahteraan masyarakat dari BPS pada 2020 menunjukkan kesenjangan pendidikan antara penyandang disabilitas dengan non-difabel. Ketimpangan ini, menurut Gufroni, semakin dalam seiring kian tingginya jenjang pendidikan.
Pada 2019, persentase anak berumur 16-18 tahun, baik anak berkebutuhan khusus maupun non-difabel yang mengikuti pendidikan SMA/sederajat mencapai 72,36 persen. Dari jumlah itu, hanya sekitar 43,61 persen anak penyandang disabilitas yang punya peluang bersekolah.
Rendahnya akses pendidikan bagi penyandang disabilitas berdampak langsung terhadap kesempatan kerja. Hingga kini, kesempatan penyandang disabilitas dalam mengakses pekerjaan di sektor formal masih menghadapi tantangan dan permasalahan.
Tantangan itu berasal dari internal penyandang disabilitas dan faktor eksternal, berupa diskriminasi ketenagakerjaan. Kondisi ini mengakibatkan rendahnya partisipasi difabel di dunia kerja dan mendorong mereka lebih banyak berkecimpung di sektor informal. Dan saat ini, sektor informal rentan terpuruk akibat pandemi Covid-19.
Pemantauan PPDI terhadap 34 media daring menunjukkan sebanyak 73 pemberitaan tentang isu pekerjaan terhadap penyandang disabilitas sepanjang Januari 2020 sampai Agustus 2021. Hasil pemantauan menunjukkan adanya upaya pemerintah dan swasta dalam mendorong pemenuhan kuota kerja bagi difabel, sebagaimana amanat Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Baca juga:
4 dari 5 Non-difabel Merasa Canggung Berinteraksi dengan Penyandang Disabilitas