TEMPO.CO, Yogyakarta - Hak pilih orang dengan gangguan jiwa atau difabel mental psikososial kerap diperdebatkan menjelang pemilu. Beberapa pihak mempertanyakan kemampuan penyandang disabilitas mental dalam memberikan hak pilih.
Baca: Difabel Mental Psikososial Nyoblos Pemilu: Kami Sehat
Di sisi lain, sejumlah aktivis organisasi difabel memperjuangkannya. Bagaimana sebenarnya posisi orang dengan gangguan jika atau difabel psikososial dalam pemilu?
Istilah orang dengan gangguan jiwa yang biasa digunakan dalam dunia kesehatan termasuk dalam kategori difabel mental psikososial atau difabel psikotis atau orang dengan gangguan psikososial. Sejumlah aktivis difabel menyebut dengan istilah difabel mental psikososial atau difabel psikotis. Penggunaan istilah “gangguan” ini dianggap melanggengkan stigma terhadap difabel mental.
Psikiater atau dokter jiwa Rumah Sakit Daerah Gunung Kidul, Ida Rochawati menjelaskan, dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa memuat dua definisi tentang orang dengan gangguan jiwa. "Pertama orang dengan gangguan jiwa psikotik dan kedua, orang dengan gangguan jiwa non-psikotik," kata Ida Rochawati.
Contoh orang dengan gangguan jiwa psikotik adalah mereka yang mengalami skizofrenia. Ini adalah gangguan yang ditandai runtuhnya proses berpikir, menilai realita, sehingga turun kualitas hidupnya secara bermakna. Gejala yang terlihat kasat mata adalah perilaku dan bicaranya kacau. Mereka juga mengalami gangguan persepsi dari pancainderanya, seperti seolah melihat penampakan atau berhalusinasi.
“Gangguan menilai realita itu misalnya merasa sangat yakin kalau dirinya itu kembarannya Dian Sastro,” kata Ida Rochawati. Skizofrenia, dia menjelaskan, tidak mempengaruhi tingkat kecerdasan individu tersebut. Dalam kondisi stabil, penderita skizofrenia bisa beraktivitas secara normal. "Mereka paham nilai uang, tahu orang cantik atau ganteng. Yang terganggu itu penilaian atas realita. Nyata atau tidak."
Sementara syarat pemilih dalam pemilu yang berlangsung April 2019 diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor Nomer 11 Tahun 2018 tentang Penyusunan Daftar Pemilih di Dalam Negeri dalam Penyelenggaraan Pemilu. Pada Pasal 4 ayat 2 huruf b Peraturan KPU menyaratkan pemilih adalah orang yang tidak sedang terganggu jiwa atau ingatannya.
Baca juga: Yang Harus Dilakukan Jika Difabel Belum Terdaftar di Pemilu 2019
Jika ada yang mengartikan syarat tersebut menjadi semua orang dengan gangguan jiwa tak bisa menggunakan hak pilihnya dalam pemilu, menurut Ida Rochawati, itu pertanda pikiran sempit. Sebab, dia menjelaskan, orang dengan gangguan jiwa tidak bisa digeneralisasi seolah mereka semua adalah orang gila atau orang hilang ingatan yang kehilangan akal sehat dan berbahaya.
“Orang dengan gangguan jiwa bisa diobati. Ini tidak menular dan masih ada kemungkinan untuk sembuh,” kata Ida Rochawati. Jika ada yang mempersoalkan hak pilih orang dengan gangguan jiwa, menurut dia, itu terlalu berlebihan dan dibesar-besarkan. Musababnya, pada pemilu sebelumnya, hak pilih orang dengan gangguan jiwa tak pernah dipersoalkan. “Semua penyakit kalau akut, seperti gagal ginjal akut, stroke akut, kecelakaan, ya enggak bisa memberikan hak pilih."
Selanjutnya: Pengertian setiap ragam difabel di UU Penyandang Disabilitas