TEMPO.CO, Jakarta - Penyandang disabilitas dengan identitas lesbi, gay, biseksual, transgender, dan interseks atau LGBTI mengalami berkali lipat diskriminasi dan tekanan. Hingga kini, kelompok penyandang disabilitas LGBTI memilih menyembunyikan identitas mereka dan tertutup dari dunia luar.
Baca: Ini Postingan Petinggi Go-Jek soal LGBT yang Berkembang Viral
"Ada, seorang tunanetra low vision yang akhirnya enggan berinteraksi dengan dunia luar, bahkan ketika dilakukan pendekatan personal ia begitu menutup diri," ujar Riska Carolina, Advokat dan Spesialis Kebijakan LGBTI untuk Arus Pelangi kepada Tempo, Jumat 11 Januari 2019. "Dia memilih menutup diri sebagai penyandang disabilitas LGBTI demi keamanan."
Riska menjelaskan, individu tersebut sudah mengalami diskriminasi. Jika membuka identitas dirinya, maka dia berpotensi menjadi objek persekusi. "Selama ini, orang tersebut mengalami diskriminasi terbesar karena disabilitasnya. Akan lebih berbahaya bila dia membuka identitas dirinya," ujar Riska, yang juga bekerja untuk Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia atau PKBI.
Menurut Riska, hingga kini perlakuan diskriminasi terbesar yang dihadapi kelompok LGBTI adalah persekusi. Riska mencatat lebih dari 17 bentuk perlakuan diskriminasi yang sering dialami kelompok LGBTI. Bahkan, bentuk diskriminasi dan tekanan yang diterima kelompok LGBTI sampai berdampak pada keseimbangan jiwa. Banyak dari mereka yang memiliki keinginan bunuh diri.
Riska mencatat ada 17 persen percobaan bunuh diri yang menghampiri para LGBTI. "Ada kasus yang sampai dipukuli dan digunduli kepalanya karena diketahui memiliki identitas LGBTI," ujar Riska. Arus Pelangi mencatat, lebih dari 47 anjuran kebencian yang diajukan untuk kelompok ini, dan lebih dari 5 kebijakan daerah yang mendiskriminasi kelompok LGBTI.
Artikel lainnya: Anggapan Keliru Terhadap Penyandang Disabilitas Mental