TEMPO.CO, Yogyakarta - Majelis hakim yang menyidangkan kasus yang melibatkan difabel harus mempunyai perspektif tentang disabilitas. Direktur Yayasan Advokasi Perempuan, Disabilitas, dan Anak (Sapda) Nurul Sa’adah Andriani menjabarkannya.
Pertama, hakim harus mempunyai perspektif, bahwa difabel itu cakap hukum. Artinya mempunyai kapasitas menjadi subjek hukum, baik ketika membuat perjanjian maupun menjadi saksi.
“Tapi dalam kasus perdata, difabel justru dianggap tak cakap hukum. Jadi harus di bawah pengampuan,” kata Nurul di Sekretaris Sapda di Kotagede, Yogyakarta, Kamis, 12 Juli 2018.
Baca juga:
Di Yogyakarta, Pendamping Difabel Diijinkan Tak Bersertifikat
Perlindungan Hukum Bagi Difabel Ditandatangani di Yogyakarta
Tips Hari Pertama Anak Berkebutuhan Khusus Masuk Sekolah
Kedua, hakim harus mempunyai perspektif tentang kesaksian difabel. Selama ini kesaksian yang diaakui adalah dari orang yang merasakan, melihat, atau mendengar langsung. Namun kesaksian tuna netra yang tidak bisa melihat acapkali diabaikan.
“Padahal melihat tak harus dengan mata. Bisa dengan mendengar suara atau membaui. Ada cara lain untuk membuktikan difabel tahu peristiwanya,” kata Nurul.
Ketiga, hakim harus mempunyai perspektif saksi korban tak harus berhadapan dengan terdakwa di persidangan karena trauma.
Keempat, hakim harus mempunyai perspektif bahwa difabel yang mengalami retradasi mental yang usia bilogisnya sudah dewasa tidak bisa diperlakukan sama dengan orang dewasa umumnya. Mengingat perkembangan intelektual dari difabel mental teretradasi berhenti ketika usia mereka 6-7 tahun. Artinya, ketika usia biologis mereka sudah dewasa, tetapi intelektual mereka seperti anak usia 6-7 tahun sehingga membutuhkan pendampingan. Acapkali difabel mental teretradasi yang mengalami pelecehan seksual tidak bisa memberikan kesaksian yang gamblang di persidangan, bingung, tak bisa menjawab kapan peristiwa terjadi, termasuk tidak bisa menjelaskan mengapa korban tidak lari atau melawan.
“Hakim harus paham kondisi itu. Hakim jangan menganggap korban dan pelaku suka sama suka. Padahal korban [yang difabel] memang tidak tahu,” kata Nurul.