TEMPO.CO, Jakarta - Penyandang disabilitas masih mengalami diskriminasi sistematis dalam hal perjalanan. Mereka menghadapi hambatan yang tidak dihadapi oleh orang-orang non-disabilitas, yang dapat menghalangi saat berlibur – atau setidaknya secara drastis membatasi pilihan mereka mengenai ke mana harus pergi dan apa yang harus dilakukan.
"Bahkan sebelum COVID-19, sebuah survei menemukan bahwa 52 persen orang dewasa penyandang disabilitas di Inggris belum pernah berlibur ke mana pun dalam 12 bulan sebelumnya," tulis Brian Garrod, Professor of Marketing dari Swansea University seperti yang dikutip dari The Conversation.
Menurut Garrod, alasan ini sudah diketahui dengan baik. Penyandang disabilitas sering kali tidak mendapatkan tiga hal utama yaitu informasi baik, fasilitas memadai, dan sikap positif dari orang lain.
Undang-undang Atasi Kesenjangan Industri Travel yang Akomodir Disabilitas
Guna mencapai tujuan ini, banyak negara, termasuk Inggris, telah memperkenalkan undang-undang khusus untuk mengatasi kesenjangan dalam industri travel. Hal ini didasari pada Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang menegaskan hak-hak penyandang disabilitas untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya, waktu luang, rekreasi dan olahraga.
"Anda mungkin berharap tindakan politik semacam ini berarti penyandang disabilitas memiliki akses yang sama untuk bepergian. Namun ketika saya mewawancarai pelancong penyandang disabilitas dan orang-orang yang bekerja di bidang ekowisata – di Inggris, AS, Australia, Kanada, dan Swedia – terlihat jelas bahwa banyak penyedia layanan liburan gagal menghargai pelanggan penyandang disabilitas mereka," kata Garrod.
Menurut penelitian Garrod yang didanai oleh the Arts and Humanities Research Council, ada beberapa penyelenggara industri tourist and travel misalnya yang berusaha menyediakan aksesibilitas, hanya bertujuan untuk mematuhi peraturan. Para pelaku bisnis travel merasa tidak ada pasar yang cukup untuk tamu penyandang disabilitas.
"Jadi mereka hanya melakukan perubahan praktis – seperti berinvestasi pada pembangunan jalan landai – jika undang-undang benar-benar mewajibkannya," tulis Garrod.
Termotivasi Ikuti Praktik Baik
Sementara pemilik bisnis lain menganggap perubahan memerlukan biaya yang besar untuk diterapkan, namun mereka termotivasi untuk tetap mengikuti “praktik yang baik". Bagi kelompok ini, bersikap ramah terhadap disabilitas merupakan hal yang masuk akal secara bisnis – namun upaya mereka seringkali tidak lengkap, misalnya hanya ditampilkan di bagian tertentu dari situs, atau untuk satu jenis disabilitas saja.
"Seperti yang diungkapkan oleh salah satu peserta penelitian: Daripada membuat seluruh tempat dapat diakses secara mobilitas, kami hanya memastikan setidaknya dua unit dan area umum utama dapat diakses. Itu adalah alternatif yang tampaknya berhasil,” kata Garrod.
Garrod mengatakan, bahkan penelitian terbaru mengungkap bahwa bisnis dengan tingkat akreditasi ekowisata tertinggi tidak mampu mengakomodasi kebutuhan tamu penyandang disabilitas. Hanya 2 persen dari situs web dalam penelitian tersebut – yang berfokus pada Australia – yang memiliki paket informasi terperinci untuk diunduh oleh penyandang disabilitas. Meskipun beberapa bisnis menganggap dirinya ramah terhadap disabilitas, fasilitas cenderung hanya mempertimbangkan akses kursi roda.
Meski begitu, tetap saja hanya 40 persen dari seluruh situs web yang memberikan informasi kepada pengguna kursi roda, sementara 6 persen menyebutkan disabilitas penglihatan dan 8 persen menyebutkan gangguan pendengaran. Terkait disabilitas intelektual, hanya 8 persen yang memperhatikan soal hal ini. Sementara, seperempat dari bisnis tersebut mengharuskan penyandang disabilitas untuk menghubungi penyedia jasa pariwisata sebelum kunjungan untuk menanyakan fasilitas yang sesuai.
Pilihan Editor: Gagasan 3 Capres Soal Peduli Disabilitas, Ini Kata Anies Baswedan, Prabowo, dan Ganjar Pranowo