TEMPO.CO, Jakarta - Penyandang disabilitas rentan mengalami gangguan mental karena beberapa kondisi yang tidak dapat ditoleransi oleh diri sendiri. Meski begitu, dalam mendeteksi gangguan mental, seorang difabel harus dapat membedakan gejala apa yang termasuk gangguan jiwa atau hanya reaksi tubuh saja.
Dokter Spesialis Kejiwaan, Ida Rachmawati mengatakan, seseorang harus mampu membedakan mana yang reaksi tubuh dan mana yang gangguan jiwa. "Salau stress, cemas, sulit tidur ketika pertama kali menghadapi pandemi adalah hal yang wajar, setiap orang mengalami dan itu tergolong reaksi," kata Ida Rachmawati dalam Instagram Komunitas Sosial Koneksi Indonesia Inklusif atau Konekin pada Senin, 11 Oktober 2021.
Reaksi tersebut akan menjadi gejala gangguan mental apabila sudah mengganggu aktivitas sehari-hari. "Gejala yang dirasakan membuat seseorang tidak berdaya hingga mengganggu lingkungan sekitarnya," ujar Ida Rachmawati.
Bagi penyandang disabilitas, menurut dia, reaksi tersebut rentan menjadi sebuah gangguan perilaku lantaran terdapat situasi yang tidak dapat diatasi oleh difabel itu sendiri. Ida menyebutkan, salah satu situasi yang memperparah adalah penerimaan informasi yang tidak lengkap, kurangnya kesempatan untuk mengekspresikan apa yang dirasakan, hingga membuat persepsi sendiri tentang suatu hal.
Penyandang disabilitas mental, Ida melanjutkan, terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, seseorang yang memiliki masalah kejiwaan. Pada kelompok ini, gangguan kejiwaan belum parah dan belum membutuhkan penanganan khusus. "Pada kelompok ini seseorang masih didiagnosa berpotensi mengalami gangguan pikiran dan/atau perasaan berupa mental emosional," kata Ida.
Sementara itu, kelompok penyandang disabilitas mental yang kedua adalah Orang Dengan Gangguan jiwa atau ODGJ. Ini orang yang memiliki gangguan perilaku dan perasaan yang menetap serta membutuhkan penanganan khusus. Beberapa kondisi yang harus disadari penyandang disabilitas, terutama disabilitas non-mental ketika mulai merasakan gangguan mental adalah bila sulit tidur tidak lebih dari dua jam selama dua minggu.
Gejala lainnya adalah muncul gangguan perilaku emosi yang tidak dapat dikontrol, berat badan tidak stabil, sulit berkonsentrasi, mengalami gangguan perasaan, hingga masalah kesehatan, seperti asam lambung naik atau problem pencernaan lainnya. Jika semua gejala itu muncul, Ida menyarankan penyandang disabilitas segera berkonsultasi kepada psikolog atau psikiatri.
Mereka yang mengalami gangguan mental dengan gelaja tadi, menurut Ida Rachmawati, jangan kemudian "lari" ke media sosial kemudian "curhat" atau menceritakan masalah yang dia hadapi. Jangan pula berharap dapat menangani masalah gangguan jiwa lewat Internet atau berbagai nasihat yang ada di media sosial.
"Informasi yang ada di dunia maya itu boleh saja menjadi bekal pengetahuan. tetapi untuk penanganan penyebuhan wajib ke dokter," kata Ida Rachmawati. "Jangan mengambil tindakan atau mendeteksi diri sendiri berdasarkan informasi yang tercantum di media sosial."