TEMPO.CO, Jakarta - Seorang penyandang disabilitas intelektual Ernest Johnson, 61 tahun, menjalani hukuman mati pada Selasa, 5 Oktober 2021. Eksekusi mati itu terlaksana setelah Gubernur Missouri, Mike Parson menolak memberikan grasi yang diminta oleh Paus Fransiskus atas Ernest Johnson. Salah satu alasan Paus Fransiskus adalah pria itu seorang difabel.
Hakim memvonis mati Ernest Johnson karena terbukti merampok dan membunuh tiga karyawan toko pada 1994. Pengacara Johnson mengatakan kliennya mengidap gangguan sindrom alkohol sejak dalam kandungan. "Itu sebabnya dia memiliki IQ yang rendah dan keterampilan hidup sehari-sehari seperti anak berusaia empat tahun," kata pengacara Johnson seperti dikutip dari Reuters.
Selain Paus Fransiskus, mantan Gubernur Missouri Bob Holden juga minta agar kesalahan Johnson diampuni. Perwakilan DPR Amerika Serikat, Cori Bush dan Emanuel Cleaver II, keduanya dari Partai Demokrat yang mewakili negara bagian Missouri, pun meminta grasi kepada Gubernur Mike Parson yang seorang Republikan.
Parson tak menghiraukan permintaan tersebut. Dia menolak grasi Ernest Johnson dan menyatakan tindak pidana yang dilakukan pria itu termasuk pembunuhan brutal. Mantan Hakim Mahkamah Agung Missouri, Michael Wolff baru-baru ini mendukung pembelaan terhadap Johnson. Ia menyampaikan perbedaan pendapat ketika pengadilan tinggi negara bagian memutuskan kasus tersebut pada 2008.
"Saya percaya pengadilan membuat kesalahan dalam pembuktian kasus ini," kata Michael Wolff. "Saya meyakini bukti tambahan yang menunjukkan Ernest Johnson adalah orang dengan defisit intelektual yang sangat signifikan."
Sementara itu, Presiden National Association for the Advancement of Colored People (NAACP), Nimrod Chapel, Jr. mengatakan, hukuman mati kepada Johnson adalah hukuman yang kejam dan melanggar konstitusi. "Pahami konsep bahwa individu yang mendapat hukuman harus memahami finalitas dan tujuan dari hukuman itu sendiri," katanya.
REUTERS | THE MISSOURI TIMES
Baca juga:
Hukuman Mati untuk Kusni Kasdut, Pejuang Atau Penjahat?