TEMPO.CO, Jakarta - Salah satu kelompok rentan yang kerap mengalami kekerasan seksual adalah perempuan penyandang disabilitas. Catatan Tahunan Komisi Nasional atau Komnas Perempuan yang dirilis Maret 2020 menunjukkan terdapat peningkatan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas sebanyak 43 persen.
"Ada peningkatan sekitar 87 kasus, paling banyak dialami perempuan dengan disabilitas tuli dan mental intelektual," ujar anggota Komnas Perempuan, Bahrul Fuad dalam diskusi virtual yang diinisiasi Save The Children, Minggu 13 September 2020. Tingginya angka kekerasan seksual yang dialami perempuan difabel dipicu banyak faktor.
Bahrul Fuad menjelaskan ada faktor individu karena kondisi alamiahnya rentan, faktor lingkungan sosial, dan faktor pembuat kebijakan. "Misalnya hambatan komunikasi dan tidak teraksesnya pendidikan seksual bagi penyandang disabilitas, stigma dari lingkungan sosial yang menganggap penyandang disabilitas aseksual, hingga belum tersedianya layanan pendidikan mengenai kesehatan reproduksi," ujar Bahrul.
Tingginya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas ini juga karena persepsi pelaku kekerasan yang menganggap korban tidak dapat melawan atau mengadu. "Karena itu banyak kasus yang terjadi di lingkungan domestik, seperti di dalam keluarga sendiri," kata Bahrul.
Direktur Eksekutif Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel atau SIGAB, Muhammad Joni Yulianto mengatakan akibat keterbatasan akses dan informasi terhadap pendidikan seks dan seksualitas, banyak penyandang disabilitas yang tidak tahu bahwa mereka telah mengalami kekerasan seksual. "Banyak di antaranya yang sampai hamil," ujar Joni.
Pendampingan yang dilakukan SIGAB dalam kurun waktu 12 tahun mencatat tindakan kekerasan seksual terhadap difabel jarang yang berakhir di pengadilan. "Ada kasus yang hanya diselesaikan melalui komunikasi antar-keluarga," kata Joni.
Anggota Komite HAM PBB untuk penerapan Kovensi Hak Penyandang Disabilitas, Risnawati Utami menyebutkan, hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan akses informasi dan pendidikan seksual merupakan bagian dari hak kesehatan. Khusus dalam pendidikan seks dan seksualitas, hak yang dimiliki difabel adalah hak kesehatan reproduksi.
Risnawati Utami menambahkan, 6 tahun lalu saat dia menangani advokasi difabel di Organisasi Harapan Nusantara atau OHANA, kekerasan seksual karena kurangnya akses informasi dan pendidikan seksual banyak terjadi di panti rehabilitasi. Kekerasan seksual tersebut terjadi hampir di semua panti yang mengakomodasi ragam disabilitas.
"Bahkan penelitian enam tahun lalu terhadap 50 penyandang disabilitas, 25 laki laki dan 25 perempuan di beberapa panti rehabilitasi menunjukkan kejadian bawaan transmitted sexual disease (penyakit menular seksual) antar-penghuni," kata Risnawati. Terdapat peningkatan angka kekerasan seksual yang signifikan dari 7 persen di tahun 2019 menjadi 21,8 persen tahun 2020 pada perempuan difabel tuli.
Pegiat disabilitas, Surya Panji Sahetapi mengatakan harus tersedia akses komunikasi dalam setiap unit pengaduan dan rehabilitasi. "Banyak teman tuli yang tidak dapat mengadukan kekerasan yang dialami karena tidak adanya juru bahasa isyarat," kata Surya.
Surya Panji Sahetapi juga menyarankan ketersediaan pendidikan dan alat kampanye yang dapat memberikan penjelasan visual secara komprehensif. "Konsep teman tuli dalam menangkap informasi adalah visual, tentu berbeda dengan kata-kata," ujar Surya.
Salah satu media visual yang dapat memberikan penjelasan secara komprehensif mengenai pendidikan seks dan seksualitas adalah pertunjukan seni teater atau poster bergambar. Selain itu, informasi mengenai pendidikan seks dan seksualitas tidak cukup hanya disampaikan sekali saja.