TEMPO.CO, Jakarta - Akses bagi penyandang disabilitas pada fasilitas umum terkadang masih keliru. Contoh, ada yang membuat jalur ramp atau bidang miring untuk kursi roda yang terlalu curam sehingga justru membahayakan difabel dan pendampingnya.
Bisa juga kondisi toilet khusus difabel yang tidak dilengkapi pegangan untuk tunanetra atau belum tersedianya ruang yang cukup di toilet untuk pengguna kursi roda bermanuver. Mungkin juga posisi lantai pemandu yang terlalu menepi sehingga berpotensi membahayakan difabel.
Ketua Perhimpunan Penyandang Disabilitas Indonesia Situbondo atau PPDIS, Luluk Ariyantiny mengatakan kekeliruan dalam pembuatan sarana aksesibilitas bagi difabel di fasilitas umum biasanya terjadi karena pembuatnya kurang mendapatkan informasi tentang apa saja kebutuhan penyandang disabilitas.
"Di sini difabel dapat menyampaikan apa-apa saja yang kurang tepat sehingga bisa langsung diperbaiki," kata Luluk dalam acara pembukaan Temu Iklusi 4 di Bulukumba, Sulawesi Selatan, melalui forum daring pada Rabu 8 September 2020.
Ilustrasi penyandang disabilitas atau difabel. REUTERS | Rafael Marchante
Di Situbondo, Luluk mengatakan, penyandang disabilitas dapat menyapaikan sarana aksesibilitas yang kurang sesuai kepada perangkat desa. "Petugas pemerintah desa kami sudah cukup inklusi, sehingga kami cukup melapor kepada mereka," ujarnya.
Masyarakat juga dapat menyampaikan saran perbaikan itu ke organisasi penyandang disabilitas di wilayah masing-masing. Setelah menerima laporan, pengurus organisasi difabel mengecek ke lepangan dan mencoba langsung akses yang dianggap keliru tadi.
Setelah mengetahui detail kesalahannya, pengurus organisasi penyandang disabilitas akan membuat laporan dan rekomendasi aksesibilitas yang harus diperbaiki. "Di Situbondo, biasanya saya dan teman teman pengguna kursi roda yang mencoba sendiri bagaimana kondisi ramp," ucap Luluk. Begitu juga dengan aksesibilitas bagi ragam disabilitas lainnya. Masing-masing difabel dapat menguji sesuai dengan kebutuhan.