TEMPO.CO, Jakarta - Pendiri gerakan peduli perempuan difabel Women and Realities of Disability Society di Nairobi, Kenya, Mildred Adhiambo Omino mengatakan, masih banyak anggapan yang salah kaprah tentang perempuan difabel. Salah satunya adalah perempuan difabel dinilai sebagai individu yang aseksual atau tidak memiliki hasrat seksual.
"Presepsi ini mengakibatkan rendahnya akses dan fasilitas kesehatan reproduksi untuk perempuan difabel," kata Omino seperti dikutip dari Reuters, Rabu 8 Juli 2020. "Sebab banyak orang berpikir mereka tidak memikirkan dan membutuhkan itu."
Salah satu layanan kesehatan reproduksi untuk perempuan difabel yang sedang diperjuangkan oleh Omino adalah pemeriksaan pap smear. Keluhan masih rendahnya akses pemeriksaan pap smear untuk perempuan penyandang disabilitas pernah disampaikan dalam Konferensi Tingkat Tinggi Internasional tentang kesehatan seksual dan reproduksi yang berlangsung pada 12 - 14 November 2019, di Nairobi.
Seorang penyandang disabilitas psikososial di India, Amba Salelkar menceritakan bagaimana dia justru mendapat stigma ketika berkunjung ke dokter saat mengalami perdarahan ketika hamil delapan minggu. Penggerak kesetaraan untuk akses kesehatan reproduksi bagi perempuan difabel di India, ini mendapati respons dokter yang begitu merendahkan dan melecehkan ketika memeriksanya.
"Ketika saya memeriksakan diri ke dokter, dia tahu keadaan saya dan bertanya, 'apakah Anda yakin Anda hamil'?" kata Salelkar menirukan ucapan dokter. Pekerjaan rumah ini kian bertambah karena seorang profesional pun masih memiliki kesadaran yang rendah akan pentingnya akses kesehatan reproduksi bagi perempuan difabel. Belum lagi masalah aksesibilitas dan fasilitas tadi.
Amba Salelkar menambahkan, masih rendahnya pengetahuan kesehatan reproduksi pada perempuan difabel membuat mereka berisiko mengalami eksploitasi. "Perempuan penyandang disabilitas rentan mengalami kehamilan yang tidak direncanakan dan infeksi penyakit menular," katanya.
Kendati hak penyandang disabilitas dilindungi oleh hukum dan perjanjian internasional, mereka masih sering tidak diikutsertakan dalam pembicaraan mengenai isu-isu seksualitas. Akibatnya, pola pikir, aksesibilitas, dan fasilitas bagi penyandang disabilitas di sektor pelayanan kesehatan masih minim.
MUHAMMAD AMINULLAH | REUTERS