Di hari pertandingan, Ahmad mengajak seorang pendamping yang menemani dan menuntunnya ke kursi penonton. Sebagai Tunanetra low vision, Ahmad kesulitan melakukan mobilitas di malam hari. "Apalagi saya rabun senja. Kalau pertandingannya malam hari, saya berangkat bisa sendiri tapi tidak bisa pulang," ujarnya.
Di dalam lapangan, Ahmad biasanya memilih tribun 2 untuk tempat menonton karena memberikan jarak pandang yang pas. Posisi duduk ini tidak terlalu jauh, juga tidak terlalu dekat untuk mengamati ke mana bola menggelinding. "Walau saya tidak jelas sama sekali ketika melihat pemainnya, tapi saya fokus pada bolanya," ujar Ahmad.
Selain posisi menonton, kondisi pencahayaan di lapangan juga menentukan kualitas pandangan. Lampu yang lebih terang sangat membantu penonton Tunanetra low vision seperti Ahmad. Meski begitu, ada pula Tunanetra yang malah tidak dapat melihat sama sekali di bawah sorotan lampu yang terlalu terang.
Baca: Cara Tunanetra Belajar Memasak
Lain lagi cerita Oki Kurnia, 25 tahun. Tunanetra total yang pernah menjadi atlet paralimpyc dari cabang olehraga tenis meja, mewakili DKI Jakarta ini lebih suka menonton pertandingan langsung dari pinggir lapangan. "Kalau dari pinggir lapangan, saya dapat memperkirakan posisi bola dari suara saat ditendang. Feel-nya juga lebih dapat," ujar Oki.
Baik Oki maupun Ahmad sependapat bila saat masuk tempat pertandingan, penonton penyandang disabilitas harus lebih dulu datang dan masuk sebelum penonton non-disabilitas.
Setelah pertandingan usai, penonton dengan disabilitas keluar sesudah penonton non disabilitas. Cara untuk menghindarkan diri dari kerumunan padat karena dapat menghambat mobilitas.
Berita lainnya: Mahasiswa UI Ciptakan Alat Bantu Baca Buku untuk Tunanetra