TEMPO.CO, Jakarta - Berkencan bagi orang pada umumnya adalah sebuah proses yang mendebarkan. Bersedia melakukan apapun demi merebut hatinya. Namun bagi penyandang disabilitas, urusan berkencan bukan hanya demi merebut hati kekasih, tetapi juga orang-orang di sekitar. Tantangannya berlipat ganda.
Pengusaha yang juga aktivis hak penyandang disabilitas di India, Nipun Malhotra mengatakan, sebagian besar penyandang disabilitas yang berkencan di perkotaan menghadapi berbagai tantangan. "Mulai dari menemukan individu yang berpikiran sama, membangun hubungan, diskusi mendalam, sampai mencari tempat yang terakses sekaligus unik untuk berkencan," ujar Nipun Malhotra seperti yang dikutip dari laman Livemint pada Senin, 18 Oktober 2021.
Proses berkencan juga tidak selalu berlangsung di antara sesama penyandang disabilitas. Difabel harus mempertimbangkan apakah calon kekasihnya itu memiliki sudut pandang terbuka, tinggal di lingkungan inklusif, dan sebagainya. Hal ini menjadi penting supaya penyandang disabilitas bisa mengambil ancang-ancang apabila keluarga kekasih menolaknya, seperti yang banyak terjadi.
Pendiri radio komunitas tunanetra di India, Danish Mahajan mengatakan, setelah proses berkencan lancar, tahap berikutnya yang juga tidak mudah bagi seorang atau pasangan dengan disabilitas persiapan menuju pernikahan. Setiap difabel memiliki pengalaman yang berbeda dalam proses ini.
Di India misalkan, posisi penyandang disabilitas perempuan dinomorduakan karena kentalnya budaya patriarki. Mereka rentan terlecehkan ketika mencoba berkencan. Sebuah catatan yang dipublikasikan oleh lembaga swadaya masyarakat yang memberdayakan perempuan disabilitas di Delhi, Silver Linings, menunjukkan, banyak perempuan difabel yang dilarang berkencan oleh keluarganya.
Lantaran dilarang berkencan, mereka seperti terputus dengan dunia luar. Banyak dari perempuan difabel ini yang kemudian bingung ketika harus menjalin hubungan dengan orang lain, yang berujung pada pernikahan. Pada akhirnya, mereka terpaksa menerima keputusan orang tua atau orang yang berkuasa dengan dijodohkan.
Kondisi paling mengenaskan ketika para perempuan disabilitas ini dilarang keluar rumah bahkan untuk sekolah dan bekerja. Mereka sama sekali tak punya pengetahuan dan gambaran sebagai bekal dalam membangun hubungan dengan lawan jenis. Akibatnya, tak sedikit perempuan difabel yang menjadi korban pelecehan seksual, pemerkosaan, hingga kekerasan fisik saat berinteraksi dengan lawan jenis.
"Kelompok perempuan disabilitas ini kehilangan kontak dengan dunia luar," kata Preeti Monga, penyintas di LSM Silver Linings. Padahal di dalam diri, mereka juga ingin mengenal tubuhnya secara seksual dan seperti apa relasi yang sehat dengan orang orang lain. "Parahnya, setelah mengalami kekerasan, mereka malah tidak diakui oleh keluarganya."
LIVEMINT | REUTERS
Baca juga:
Sikap Keluarga Difabel Menentukan Sukses Tidaknya Percepatan Vaksinasi Covid-19
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik Tempo.co Update untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram lebih dulu.