TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas, Kementerian Sosial, Eva Rahmi Kasim mengatakan masih banyak difabel mental yang ditelantarkan keluarganya meski sudah sembuh dari masa relapse atau kekambuhan. Penelantaran ini berakibat penyandang disabilitas mental kembali kambuh dan terlunta-lunta di jalan.
Eva Rahmi mengatakan penelantaran tersebut umumnya karena keluarga tidak dapat atau belum memahami bagaimana cara merawat anggota keluarga yang menyandang disabilitas mental. "Keluarga terpengaruh stigma atau tidak siap atas konsekuensi yang timbul saat penyandang disabilitas mental mengalami relapse," kata Eva Rahmi dalam diskusi daring bertajuk Upaya Perlindungan dan Pencegahan Tindak Kekerasan Serta Tidak manusiawi kepada Penyandang Disabilitas Mental, Rabu, 25 Maret 2021.
Baca juga:
Penelantaran oleh keluarga membuat banyak difabel mental yang tidak diketahui identitasnya. Bahkan pada beberapa kasus, Eva Rahmi mengidentifikasi keluarga justru sengaja menelantarkan anggota keluarga disabilitas mental.
Salah satu upaya Kementerian Sosial untuk mengakomodasi identitas penyandang disabilitas mental terlantar adalah melakukan perekaman data melalui kerja sama dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Setelah data terekam, kemudian penyandang disabilitas mental dibawa ke rumah sakit untuk memperoleh perawatan psikiatri dan menjalani rehabilitasi sosial di shelter atau rumah antara.
Tahapan-tahapan itu, menurut Eva Rahmi, supaya penyandang disabilitas mental dapat masuk ke dalam fase tenang hingga siap kembali ke masyarakat. Beberapa balai rehabilitasi sosial telah mengambil bagian dari beberapa tahapan yang harus dijalani difabel mental tadi.
Contohnya, Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Mental Phala Martha, Sukabumi, Jawa Barat, memiliki sekitar 20 difabel mental tanpa identitas. Saat ini para penyandang disabilitas mental itu masuk tahap pemberdayaan dan berhak mendapat penghasilan.
Eva Rahmi melanjutkan, terdapat sekitar 750 pendamping dalam proses rehabilitasi difabel mental di seluruh Indonesia. "Kami memiliki pekerja sosial yang memiliki kualifikasi pendidikan sarjana sebanyak 163 orang dan 600 orang di bawah pendidikan sarjana," kata Eva.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA, Kementerian Kesehatan, Siti Khalimah mengatakan, kendati rehabilitasi sosial menjadi tindak lanjut penanganan difabel mental, sistem pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia masih terpusat di rumah sakit jiwa.
Sementara masih banyak wilayah di Indonesia yang belum memiliki layanan untuk difabel mental, semisal rumah sakit jiwa atau klinik psikiatri. "Ada sekitar 4.400 layanan kesehatan jiwa di seluruh wilayah Indonesia, namun ada lima provinsi di Indonesia yang belum memiliki rumah sakit jiwa," kata Siti Khalimah.
Baca juga:
Angka Pemasungan Difabel Mental Bertambah 20 Persen Selama Pandemi Covid-19