TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia atau HWDI Jambi, Ratumas Dewi mengatakan perempuan difabel rungu dan tuli paling rentan masuk jebakan di media sosial. Penyebabnya, menurut dia, ada keterbatasan dalam memahami bahasa yang digunakan di media sosial, sehingga mereka kerap salah dalam memahami sesuatu.
"Salah paham ini ada yang berujung pada pelecehan seksual," kata Ratumas Dewi dalam diskusi Indonesia Digital Ramah Disabilitas yang diadakan Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama Bakti, Jumat 26 Maret 2021. Beberapa pernyataan jebakan yang kerap muncul di media sosial dan mempengaruhi tunarungu dan tuli adalah ajakan untuk bertemu.
Ratumas mencontohkan, "Kuy, kita kopdar!" Orang yang mendapatkan ajakan ini bisa jadi berpikir kalau orang yang mengajaknya menyukainya. Sementara orang yang mengajak bertemu ini mungkin hanya iseng, sedang butuh teman, atau jangan-jangan tengah mencari mangsa.
Terlebih saat melihat foto profil orang tersebut di media sosial, hanya tampak yang ganteng dan cantik, latar yang indah, serta kegiatan mengasyikkan demi pencitraan dan memikat orang lain. Padahal di balik itu, mungkin saja ada perangkap. "Ini yang sering tidak dipahami oleh penyandang disabilitas yang relatif polos," kata Ratumas. "Berbagai pencitraan dan percakapan yang melenakan membuat mereka mudah dirayu dan dibohongi."
Ratumas menjelaskan, tunarungu dan tuli biasanya memahami bahasa yang baku dalam berkomunikasi di media sosial. Hanya sedikit yang mengerti bahasa serapan dan bahasa gaul. Akibatnya, mereka kerap terjebak dalam percakapan yang tidak dipahami dan tanpa sadar perbincangannya mengarah pada pelecehan seksual.
Kebanyakan penyandang disabilitas juga memiliki keterbatasan pengalaman bersosialisasi dan komunikasi dengan orang luar. Hal itu yang membuat mereka lebih rentan tertipu di media sosial. Ratumas membeberkan sejumlah hambatan bagi difabel dalam mengakses informasi di dunia digital.
Bagi tunarungu dan tuli misalkan, masih banyak video yang belum dilengkapi deskripsi dan bahasa yang digunakan sulit dipahami. Tunanetra kesulitan membaca informasi dalam konten yang tidak adaptif dengan aplikasi pembaca layar di gawai mereka. Biasanya konten ini berupa gambar, foto, atau dokumen tertentu. Kemudian tunagrahita kesulitan memahami bahasa dan penggunaan gambar yang kurang menarik.
Ratumas menyampaikan sejumlah solusi untuk melindungi difabel saat memanfaatkan teknologi digital. Jalan keluarnya, menurut dia, menggunakan bahasa sederhana dan tidak banyak memanfaatkan kata serapan. Memberikan diskripsi pada video, menggunakan warna-warna yang tidak menyolok, dan menggunakan gambar sederhana dan menarik. "Jangan menggunakan 'captcha' saat masuk ke situs di internet," katanya.
Baca juga:
Angkie Yudistia Berbagi 5 Tips Orang Tua Difabel Berkomunikasi dengan Anak