TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Pengurus Besar Nahdatul Ulama atau Ketua PBNU KH Imam Aziz mengatakan Undang-undang atau UU Cipta Kerja yang merupakan bagian dari paket Undang-undang Omnibus Law sebagai upaya mencacatkan kembali penyandang disabilitas.
"Dulu penyandang disabilitas dianggap sebagai orang cacat, sekarang dikembalikan lagi jadi orang cacat. Ini namanya kemunduran," ujar Imam Aziz dalam doa bersama penyandang disabilitas lintas agama mengenai harapan revisi UU Cipta Kerja yang dilakukan secara virtual pada Kamis, 29 Oktober 2020.
Dalam acara doa bersama yang dihadiri perwakilan difabel dari agama Hindu, Kristen, Katolik, dan Islam itu, Imam Aziz mengkritisi persepsi pemerintah yang lebih banyak mengukur keberhasilan pembangunan dari level ekonomi. "Padahal keberhasilan pembangunan juga harus dilihat dari level pembangunan keanekaragaman sumber daya manusia," katanya.
Pembangunan keanekaragaman sumber daya itu, menurut Imam Aziz, bermakna pemerintah harus memberikan kesempatan yang setara dan lebih luas kepada individu yang memiliki kemampuan berbeda atau different ability. Dia mencontohkan amanat undang-undang yang harus menyetarakan penyandang disabilitas dalam kehidupan yang inklusif.
Beberapa waktu lalu, organisasi penyandang disabilitas telah menyatakan sikap menolak UU Cipta Kerja dan mendesak pemerintah membatalkan undang-undang tersebut. Ada sepuluh alasan yang mendasari penolakan difabel terhadap UU Cipta Kerja. Berikut rinciannya:
- Kelompok penyandang disabilitas tidak pernah diperhitungkan dan tidak dilibatkan sejak awal proses pembahasan. Padahal subtansi UU Cipta Kerja sangat relevan dan berdampak terhadap kehidupan penyandang disabilitas.
- UU Cipta kerja tidak harmonis dan sinkron dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
- UU Cipta kerja melakukan kejahatan epistemik dengan masih menggunakan istilah penyandang cacat. Istilah cacat bertetangan dengan paradigma model sosial penyandang disabilitas dari sudut pandang Hak Asasi Manusia, bahwa keadaan disabilitas seseorang terjadi karena hak-haknya yang tidak diakomodasi oleh lingkungan.
- UU Cipta Kerja telah menghapus Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung yang mengatur persyaratan kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung berupa aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dan lanjut usia.
- Dengan dihapusnya Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Bangunan Gedung, maka UU Cipta Kerja justru tidak mendukung pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam mendapatkan akomodasi yang layak dalam dunia kerja.
- UU Cipta Kerja telah menambahkan satu syarat yang dapat menjadi alasan bagi pemberi kerja untuk melakukan pemutusan hubungan kerja. Hal ini tercantum dalam revisi Pasal 154A huruf l Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyarakan bahwa "Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan". Pemutusan hubungan kerja dengan alasan tersebut diskriminatif dan merugikan penyandang disabilitas.
- UU Cipta Kerja menghilangkan kuota satu persen bagi perusahaan swasta dan dua persen bagi lembaga pemerintah atau perusahaan negara untuk mempekerjakan penyandang disabilitas dari keseluruhan pegawai.
- Persyaratan 'sehat jasmani rohani' sebagaimana dalam pasal 8 ayat 1, pasal 45 ayat 1 dan pasal 46 UU Cipta Kerja merupakan sesuatu yang sumir dan mendiskriminasi penyandang disabilitas mental untuk mendapatkan akses pekerjaan.
- UU Cipta Kerja tidak mengatur mekanisme pencegahan dan perlindungan kekerasan terhadap perempuan, khususnya perempuan penyandang disabilitas.
- UU Cipta Kerja meninggalkan kepentingan penyandang disabilitas untuk meningkatkan usaha ekonomi dengan sama sekali tidak mencantumkan poin-poin yang bisa memudahkan penyandang disabilitas untuk berusaha sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.