TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan atau Perdik, Ishak Salim mendorong agar sekolah formal dapat lebih terbuka terhadap siswa difabel. Sekolah umum yang inklusif, menurut dia, adalah yang mau menerima siswa berkebutuhan khusus.
"Segala konsekuensinya menjadi bagian dari proses inklusi pendidikan menuju kesetaraan untuk semua warga negara," kata Ishak. Siswa difabel yang mengenyam pendidikan di sekolah formal memiliki beragam kemampuan yang dengan sendirinya membawa penyesuaian dan kesepahaman antara guru dan siswa.
Contohnya, kata Ishak Salim, siswa difabel netra yang memiliki kemampuan membaca yang berbeda dengan siswa non-difabel. Atas keberagaman tersebut, maka kurikulum pendidikan beradaptasi dengan ragam kemampuan siswa difabel. "Jika difabel visual harus menulis dan membaca, maka mereka membutuhkan aplikasi pembaca layar. Sebab itu, memaksakan setiap anak membaca buku fisik, melainkan beri peluang untuk membaca sesuai kemampuannya," kata dia.
Seorang guru pedamping membacakan soal Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) kepada murid berkebutuhan khusus di SD Inklusi Betet I, Kota Kediri, Jawa Timur, 3 Mei 2018. USBN yang wajib diikuti oleh siswa reguler dan juga siswa berkebutuhan khusus tersebut sebagai syarat tamat belajar. ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani
Ishak Salim menjelaskan, sekolah umum infklusif bukanlah sekolah yang ditunjuk pemerintah. Sekolah inklusi tumbuh dari pelaku inklusi di sekolah dan membuka peluang bagi siswa difabel untuk masuk atau mereka yang aktif menjemputnya siswa berkebutuhan khusus di rumah.
Proses adaptasi, Ishak Salim melanjutkan, akan mengubah praktik dan memungkinkan setiap pihak menyusun rencana baru sekolah inklusif. Kini, banyak daerah membentuk kelompok kerja pendidikan inklusi. Para guru juga kerap mengikuti seminar atau pelatihan inklusivitas, diiringi dengan aktivis pendidikan yang kian kuat.
Yang tak kalah penting setelah terbangun kesadaran untuk menciptakan suasana inklusi di sekolah adalah koordinasi. Sekolah inklusi harus bekerja secara terorganisir dan terhubung dengan berbagai pihak. "Tanpa pengorganisasian, pelaku pendidikan inklusi akan selalu berpikir bahwa praktik inklusivitas harus didasarkan pada arahan, ditunjuk oleh pimpinan, harus punya anggaran, dan memiliki tenaga kerja khusus," ucap Ishak Salim.