TEMPO.CO, Jakarta - Sebanyak 23 operator penyedia jasa transportasi publik menandatangani komitmen pelayanan transportasi ramah difabel. Penandatanganan tersebut dilakukan di selasar Curbe Internationnal, Terminal 3 Ultimate, Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tanggerang.
"Komitmen ini menjadi titik akselerasi bagi para operator transportasi agar dapat menyediakan pelayanan publik yang ramah dan berkelanjutan bagi penyandang disabilitas," ujar Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Kementerian Perhubungan, Umiyatun Hayati Triastuti, mewakili Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Rabu 11 September 2019.
Sebanyak 23 penyedia layanan jasa transportasi publik yang melakukan penandatanganan komitmen antara lain, Perum Damri, PPD, Primajasa, Blue Bird, Railink, PT MRT, PT Transjakarta, PT KAI, Garuda, Citilink, Lion Air, Batik Air, Pelindo 1, Pelindo 2, Pelindo 3, Pelindo 4, ASDP, Angkasapura I, Angkasapura II, dan Jasamarga.
Umiyatun menjelaskan penyedia jasa transportasi publik wajib memberikan pelayanan yang ramah bagi disabilitas. Dasarnya adalah Peraturan Menteri Nomor 98 Tahun 2017 tentang Penyediaan Aksesibilitas pada Jasa Layanan Transportasi Publik Bagi Pengguna Berkebutuhan Khusus.
Sehari sebelum penandatanganan komitmen, sekitar 60 difabel melakukan uji aksesibilitas di tiga tempat. Tiga titik itu adalah Stasiun Kereta Api Tanjung Priok yang melayani perjalanan dari Stasiun Duri, Stasiun Kampung Bandan, dan stasiun Ancol.
Dari stasiun, para penyandang disabilitas melakukan uji aksesibilitas di terminal tipe B Tanjung Priok dan diakhiri dengan kunjungan ke Pelabuhan Penumpang Nusantara Tanjung Priok. "Masih banyak akses yang perlu diperbaiki, tidak hanya pelayanannya saja tapi juga fasilitasnya, salah satunya toilet," kata seorang difabel, Aisya.
Di sejumlah titik, menurut Aisya, fasilitas untuk difabel selalu berimpitan dengan jalur kendaraan. Misalnya di stasiun kereta api, posisi toilet terlalu mepet dengan peron. "Ini berbahaya terutama bagi penyandang disabilitas pengguna kursi roda dan tunanetra," ujar Aisya. Sebagai pengguna kursi roda, dia kerap kesulitan saat masuk pintu tapping tiket di beberapa stasiun karena lebarnya yang tak sampai 1,6 meter.
Satu lagi yang menjadi catatan mengenai aksesibilitas bagi difabel adalah meja layanan penumpang di beberapa kantor jasa transportasi publik dinilai terlalu tinggi. Akibatnya, menurut seorang koordinator gerakan advokasi bagi penyediaan akses transportasi publik, Jakarta Barrier Free Tourism atau JBFT, Faisal Rusdi, penumpang berkebutuhan khusus yang harus mengakses meja tersebut tidak terlihat oleh petugas pelayanan pelanggan.
Supaya kendala aksesibilitas ini tidak berlarut, Faisal menyarankan agar pengelola melibatkan difabel dalam membuat desain awal atau ketika meremajakan bangunan. "Banyak prinsip desain universal yang harus dipenuhi agar dapat menghemat biaya dalam menyediakan sarana yang terakses bagi difabel," ucap dia.