TEMPO.CO, Jakarta - Kisah persahabatan dua remaja tunanetra Salsa dan Dea, 17 tahun, diabadikan dalam sebuah dokumenter berjudul 'Menggapai Bintang' dan menjadi salah satu dari lima film yang berhasil masuk ajang pemaparan film yang dapat menjaring pemangku kepentingan dari seluruh dunia, Good Pitch ke 43.
“Saya jatuh cinta pada persahabatan keduanya, Salsa dan Dea yang sama-sama berjuang untuk meruntuhkan stigma mengenai tunanetra yang sering dianggap tidak bisa apa apa,” ujar produser film dokumenter Menggapai Bintang, Mila Kartina Kamil, dalam acara Pitching film dokumenter Good Pitch 2019, di Hotel JS Luwansa, jalan HR Rasuna Said, Jakarta Kamis 5 September 2019.
Menggapai Bintang tidak hanya menceritakan bagaimana dua sahabat tunanetra saling mendukung untuk menggapai cita cita. Di film itu, salsa memaparkan upayanya yang ingin menjadi guru matematika dengan mendaftar di universitas negeri Jakarta. Sedangkan Dea, bercita-cita menjadi jurnalis, dengan menjadi seorang penulis lepas di majalah sekolahnya di Amerika Serikat.
Dalam film digambarkan, kedua remaja beraktivitas layaknya remaja pada umumnya. Seperti Dea yang tetap melakukan aktivitas di luar ruangan dengan menaiki flying fox. Maupun Salsa yang menjadi salah satu vokalis band bernama CB Band. Kegiatan dua remaja tunanetra tersebut terekam dengan sangat baik di kamera sutradara dokumenter, Ucu Agustin.
“Bahwa setiap makhluk hidup yang terlahir di dunia, memiliki keunikan masing masing, juga kelebihannya masing masing,” ujar sutradara Ucu Agustin. Perempuan yang juga pernah membuat film dokumenter berjudul 'Wanita' ini mencoba menangkap permasalahan yang dialami tunanetra sehari-hari, terutama yang terbangun dari stigma.
Film ini ingin mengirimkan pesan, bahwa pendidikan adalah salah satu alat utama terpenting bagi tunanetra dalam mewujudkan cita cita, maupun memperbaiki taraf hidup. Menurut Mila Kartina, sampai saat ini masih banyak anak-anak tunanetra yang kesulitan mengenyam bangku pendidikan, karena harus berhadapan dengan stigma. “Ada yang diremehkan kemampuannya, mengalami perenungan, hingga kesulitan mengakses sarana belajar mengajar, seperti buku braille misalnya,” ujar Mila Kartina.
Lantaran itulah, donasi yang diterima dari hasil pemaparan film ini akan digunakan untuk program pengembangan pendidikan bagi anak-anak tunanetra, pengadaan buku braille, pengembangan program belajar mengajar matematika yang selama ini masih dianggap sulit diakses oleh anak anak tunanetra, hingga pengembangan proses belajar mengajar secara inklusif antara anak-anak dari kalangan melihat dengan anak-anak tunanetra melalui program 'Aku dan Sahabatku'.