TEMPO.CO, Jakarta - Ratusan penyandang disabilitas mengadakan karnaval budaya di sepanjang Jalan Sudirman - MH. Thamrin, Jakarta Pusat, pada Selasa pagi, 27 Agustus 2019. Mereka menggelar acara itu untuk mendesak pemerintah Presiden Joko Widodo segera mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah sebagai peraturan teknis dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Sembari melakukan Goyang Maumere, teman difabel dari beragam disabilitas juga menagih pembentukkan Komisi Nasional Disabilitas seperti diamanatkan dalam Undang Undang Penyandang Disabilitas. Komisi Nasional Disabilitas seharusnya dibentuk paling lama dua tahun setelah Undang-undang Penyandang Disabilitas disahkan.
Koordinator Aksi dari Kelompok Kerja Undang-Undang Penyandang Disabilitas, Mahmud Faza mengatakan dari tujuh peraturan pemerintah yang menjadi ketentuan turunan dari Undang-undang Penyandang Disabilitas, baru satu yang siap disahkan. "Satu rancangan peraturan pemerintah yang akan disahkan adalah peraturan pemerintah mengenai kesejahteraan penyandang disabilitas," kata Mahmud Faza di Jakarta.
Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Kesejahteraan Sosial Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Vivi Yulaswati mengatakan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kesejahteraan Sosial Bagi Penyandang Disabilitas ini sudah sampai di meja Presiden Joko Widodo dan siap ditandatangani.
Sejumlah penyandang disabilitas melakukan Pawai Budaya Disabilitas di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Selasa, 27 Agustus 2019. Pawai budaya ini dalam rangka memperingati 74 Tahun Kemerdekaan Indonesia dengan mengangkat tema "Menuju Disabilitas Merdeka". TEMPO/Muhammad Hidayat
Adapun enam rancangan peraturan pemerintah sebagai turunan dari Undang-undang Penyandang Disabilitas yang belum rampung adalah RPP Perencanaan, Penyelenggaraan, dan Evaluasi Penghormatan, Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas; RPP Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan; RPP tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas.
Selain itu, RPP Kesejahteraan Sosial, Habilitasi dan Rehabilitasi; RPP Pemenuhan Hak Atas Pemukiman, Pelayanan Publik; RPP Unit Layanan Disabilitas Ketenagakerjaan; serta RPP Konsesi dan Insentif dalam Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.
Dalam aksi budaya itu, penyandang disabilitas juga mendesak agar pemerintah segera menghapus kebijakan yang mendiskriminasi. Misalnya ketentuan penerimaan lowongan kerja yang mensyaratkan sehat jasmani dan rohani. "Masih banyak perusahaan yang menggunakan pendekatan ini, sehinggga tidak dapat menerima penyandang disabilitas sebagai pekerja," ujar Koordinator Aksi yang juga Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat, Yeni Rossa Damayanti.
Sejumlah penyandang disabilitas melakukan flashmob Maumere saat Pawai Budaya Disabilitas di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Selasa, 27 Agustus 2019. Pawai budaya ini dalam rangka memperingati 74 Tahun Kemerdekaan Indonesia dengan mengangkat tema "Menuju Disabilitas Merdeka". TEMPO/Muhammad Hidayat
Penyandang disabiltas juga menuntut kebijakan yang masih menganggap difabel berada di bawah pengampuan, sehingga kesaksiannya tidak dapat dijadikan alat bukti dalam persidangan. "Banyak penyandang disabilitas perempuan yang mengalami pelecehan dan kekerasan seksual, namun kasusnya tidak dapat diproses secara hukum karena kesaksiannya tidak dapat dijadikan alat bukti di persidangan," ujar Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia atau HWDI, Maulani Rotinsulu.
Ada pula kebijakan pelayanan penerbangan yang diprotes karena menganggap difabel sebagai orang sakit. Karena itu, mereka harus menandatangani surat pernyataan sakit atau surat keterangan sakit. "Kami tidak ingin karena ketidaklengkapan salah satu anggota tubuh lalu dianggap sakit. Kami tetap bisa beraktivitas dan berdaya seperti orang lain," kata Ketua Pokja Implementasi Undang-Undang Penyandang Disabilitas, Ariyani Soekanwo.