TEMPO.CO, Jakarta - Doktor Kajian Disabilitas dan Kesejahteraan Sosial dari Universitas Indonesia, Fransiskus Adi Prasetyo mengatakan membangun komunikasi dengan anak disabilitas intelektual tak bisa disamakan dengan anak dengan ragam disabilitas lainnya. Satu hal yang harus dibangun lebih dulu adalah memahami bagaimana konteks berpikir anak disabilitas intelektual.
"Kuncinya komunikasi yang sederhana dan berulang," kata Adi dalam acara bedah buku Panduan Bagi Anak Penyandang Disabilitas Intelektual di Sekolah Inklusi, di Aula Juwono Sudharsono, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Kamis 15 Agustus 2019. Dia mencontohkan, ketika mengenalkan diri, gunakan bahasa yang simpel dan mudah diingat.
"Saya tidak mungkin memperkenalkan diri dengan nama lengkap beserta titel pendidikan yang saya punya kepada anak penyandang disabilitas intelektual. Saya akan membahasakan nama saya 'Adi' saja," ujarnya. Setelah dibuat lebih sederhana, para pendamping anak disabilitas intelektual tak boleh bosan mengulang segala sesuatu yang perlu diketahui oleh anak.
Adi menjelaskan, berbagai informasi yang disampaikan kepada anak disabilitas intelektual memang harus berulang kali dilakukan karena daya ingat mereka di bawah rata-rata anak seusianya. Kondisi ini bukan karena anak tersebut malas mengingat, melainkan kapasitas alami dari daya ingatnya sendiri.
Sebab itu, Adi melanjutkan, jangan terkejut jika anak disabilitas intelektual tiba-tiba marah jika melalui jalan yang tidak biasanya dia lewati. "Makanya, wajar ketika orang tua mengantar ke sekolah melalui jalur yang berbeda misalnya, lalu anak menjadi marah," ujar Adi.
Selain cara membangun komunikasi yang berbeda, Acting Director Hellen Keller Indonesia, Emilia Kristianti mengatakan anak disabilitas intelektual rentan mengalami diskriminasi dua kali lebih banyak dari anak dengan ragam disabilitas lain di sekolah. Salah satu musababnya, menurut dia, anak disabilitas intelektual tidak memiliki pola komunikasi dan konsep yang sama dengan anak-anak seusianya.
"Di sekolah, mereka adalah kelompok yang paling didiskriminasi baik oleh anak-anak non-disabilitas maupun anak dengan ragam disabilitas lain," ujar Emilia Kristianti. Karena itu, dia melanjutkan, konsep inklusif bagi anak tersebut sebaiknya diterapkan secara personal dan sesuai dengan kebutuhan mereka.
Emilia mengatakan konsep disabilitas setelah Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas diratifikasi adalah bagaimana lingkungan sosial menyediakan akses yang selama ini menjadi hambatan interaksi. Salah satu matode yang dapat diterapkan adalah dengan menghadirkan guru pendamping khusus di dalam kelas. Guru ini menjadi fasilitator bagi anak disabilitas intelektual dalam berkomunikasi dan menjalani aktivitas lainnya.