TEMPO.CO, Yogyakarta - Peneliti Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel atau Sigab Yogyakarta, Muhammad Syafi’i mengatakan difabel acap kali mengalami diskriminasi saat berurusan dengan hukum, baik pidana maupun perdata. Akibatnya, penyandang disabilitas yang menjadi korban kemudian menjadi korban yang kedua kalinya karena proses hukum yang diskriminatif dan vonis yang tidak memberikan rasa keadilan.
Dalam diskusi bertajuk Pendampingan dan Bantuan Hukum Difabel Berhadapan dengan Hukum di Fakultas Hukum UII Yogyakarta, pada 29 Juli 2019, Muhammad Syafi'i mencontohkan beberapa kasus perdata maupun pidana yang mendiskriminasi penyandang disabilitas. Dalam kasus perdata misalnya di hukum waris, menurut dia, ada ahli waris yang tidak mendapatkan warisan karena penyandang disabilitas. "Ada pula istri yang dicerai suaminya karena penyandang disabilitas," ucap Syafi'i. "Alasannya, dalam Undang-undang Perkawinan, istri boleh dicerai suaminya karena difabel."
Sementara dalam kasus-kasus pidana, difabel dengan beragam disabilitas rentan mendapatkan ketidakadilan dalam proses hukum. Syafi’i memaparkan riset atas dua kasus pidana yang terjadi di Sukoharjo dan Surakarta, Jawa Tengah.
Kasus di Sukoharjo menimpa anak perempuan yang mempunyai disabilitas ganda, yaitu difabel wicara dan difabel intelektual atau tunagrahita. Berdasarkan usia kalender, anak tersebut berumur 22 tahun, dengan usia mental setara anak umur 8 tahun. "Dia mengalami kekerasan seksual oleh gurunya," kata Syafi'i.
Awalnya kasus ini tidak diproses hukum karena akan diselesaikan secara internal oleh pihak sekolah. Mengetahui itu, keluarga korban tidak terima dan melaporkan kasus ini ke polisi dengan pendampingan dari SIGAB dan Aisyiyah.
Alih-alih mendapat respons cepat, polisi menolak menangani kasus itu. Menurut petugas, bukti yang ada kurang kuat untuk menjerat terduga pelaku. "Mereka beralasan ada hambatan komunikasi dengan kendala daya ingat korban," kata Syafi'i.
Para pendamping kemudian melaporkan kasus itu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM yang kemudian memberikan dukungan. Barulah kasus tersebut ditangani polisi dan jaksa secara serius dan pelaku dijatuhi vonis berat.
Sementara kasus di Surakarta menimpa seorang perempuan tuli dan bisu. Dia diperkosa enam laki-laki dan diambil uangnya. Polisi yang mendapat laporan menindaklanjuti dengan menghadirkan penerjemah bahasa isyarat. Namun penerjemah tak memahami bahasa isyarat yang disampaikan korban. Musababnya, bahasa isyarat untuk tuli dan bisu bermacam-macam. Ada bahasa isyarat ala bahasa ibu ada pula bahasa isyarat ala Gerkatin.
Pada saat itu, tiada pendamping yang disediakan untuk korban sehingga tak ada yang bisa memahami apa yang disampaikan korban. Akibatnya, hasil reka ulang ditafsirkan sendiri oleh polisi. "Dan polisi menyimpulkan ini bukan perkosaan, melainkan suka sama suka," kata Syafi’i. Lantaran penafsiran itu, polisi hanya mengusut kasus pencurian uang.
Bercermin dari dua kasus yang ditangani secara berbeda tersebut, Syafi’i mendorong pentingnya pendamping bagi difabel yang berhadapan dengan hukum. Peran pendamping antara lain mengidentifikasi hambatan difabel dan membantu memberikan solusi. Pendampingan dilakukan sejak awal hingga pasca-putusan hakim, baik dalam proses litigasi maupun non-litigasi.
Ketidaktahuan petugas penegak hukum, yakni polisi dan jaksa atas hambatan difabel mengakibatkan proses pengumpulan bukti dan saksi turut terhambat. Syafi’i mencontohkan kasus tunanetra yang kecopetan di dalam bus. Korban pun melapor ke polisi. "Polisinya malah bertanya, kamu melihat pelakunya enggak?" kata Syafi’i.
Ada juga kasus difabel wicara yang menjadi korban perkosaan. Polisi yang tidak memahami hambatan difabel wicara akan melontarkan pertanyaan yang tidak pas. "Polisi tanya, kamu teriak enggak? Pertanyaan penegak hukum ini bermasalah," kata Syafi’i.
Koordinator Bidang Advokasi SIGAB, Purwanti menambahkan, dalam Pasal 285 Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP menyebutkan perkosaan dibuktikan dengan adanya penolakan. Untuk mengetahui ada tidaknya penolakan dibuktikan dengan ada tidaknya perlawanan. Sementara ada tidaknya perlawanan ditandai dengan ada tidaknya luka atau usaha untuk mengelak. "Unsur ini tidak bisa diterapkan terhadap difabel korban perkosaan," kata Purwanti.
Dia mencontohkan dirinya yang tunadaksa membutuhkan kursi roda sebagai alat bantu beraktivitas sehari-hari. Untuk memindahkan tubuh dari tempat tidur ke kursi roda membutuhkan konsentrasi penuh agar tidak jatuh. Dengan kondisi itu, maka upaya menghindar dari tindak kejahatan sulit dilakukan. "Bahkan ketika gempa bumi terjadi, teman-teman yang menggunakan kursi roda memilih menyelamatkan diri dengan merangkak karena enggak mungkin fokus naik kursi roda," kata Purwanti.
Direktur Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) FH UII, Bambang Sutiyoso mengatakan meskipun sudah ada Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sebagai hukum reformatif, namun sistem peradilan untuk difabel masih diskriminatif. Contohnya, syarat saksi dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP adalah yang mendengar, melihat, atau mengalami. "Bagaimana dengan difabel netra atau tuli? Produk hukum belum membahas soal keterbatasan," kata Bambang.