TEMPO.CO, Jakarta - Seorang anak dengan disabilitas rentan menghadapi perundungan. Kondisi ini kerap terjadi ketika anak masuk sekolah. Meski begitu, banyak anak dengan disabilitas yang berhasil mengatasi perundungan secara mandiri.
Psikolog Pendidikan Universitas YARSI, Alabanyo Berbahama mengatakan anak dengan disabilitas yang memiliki kemampuan komunikasi yang baik akan terselamatkan dari bullying. "Jadi, ini sangat bergantung pada keterampilan berkomunikasi anak itu sendiri," kata Alabanyo saat dihubungi Kamis 18 Juli 2019.
Psikolog yang juga menangani anak berkebutuhan khusus di sekolah ini menjelaskan, kemampuan berkomunikasi yang dimaksud adalah bagaimana seorang anak dapat menjelaskan kondisi dirinya. Bahkan, di satu titik, seorang anak dengan disabilitas dapat membalikkan keadaan dengan kemampuannya menjelaskan keadaan dirinya.
Menurut Alabanyo, kemampuan ini dapat dilakukan dengan anak difabel tanpa hambatan komunikasi seperti disabilitas netra atau disabilitas daksa. Sementara untuk anak-anak dengan hambatan berkomunikasi, harus ada pihak luar yang mengintervensi. "Ini harus melibatkan peran orang lain yang paling mengetahui kondisi anak," kata dia.
Salah satu contoh sikap yang harus diambil anak difabel ketika menghadapi perundungan adalah dapat membedakan perilaku yang hanya bercanda dan perilaku yang benar-benar mem-bully. "Kalau masih di dalam tahap verbal, dapat dibalas dengan verbal lagi, yang tidak dapat ditoleransi apabila sudah menyerang secara fisik," ujar Alabanyo.
Siswa inklusi tunanetra kelas XI dari SMU 90, Jakarta Selatan, Kenichi Satria Kaffah, memiliki cara sendiri menghadapi lingkungan yang bersikap tak ramah kepadanya. Salah satunya adalah siswa difabel harus mampu mengidentifikasi dan mengenali pelaku perundungan dengan baik. "Karena ini penting bagi saya ketika harus melakukan penyelesaian masalah, agar kami juga tidak salah tuduh," ujar Kenichi.
Bagi Kenichi, perundungan tidak perlu diambil hati bila tidak melibatkan tindakan fisik. Musababnya, perilaku perundungan kerap menjadi bahan candaan. Namun bila sudah melibatkan perilaku fisik, Kenichi biasanya melakukan mediasi pertama melalui sesama temannya.
"Tapi kalau sudah parah, saya akan melibatkan guru dan minta dipertemukan dalam sebuah forum beserta saksi-saksinya, agar jelas dan mendapat jaminan keamanan ke depannya," ujar Kenichi. Remaja berumur 15 tahun ini menyebutkan, cara yang digunakannya telah terbukti berhasil mengatasi perundungan selama 4 tahun. Ini terbukti, Kenichi dapat menjalani pendidikan inklusinya dengan lancar di sekolah umum baik di tingkat pertama dan di tingkat atas.
Berdasarkan pengakuan beberapa remaja tunanetra yang menempuh pendidikan inklusi di sekolah umum, perundungan yang sering mereka terima, antara lain disemburkan air liur sedikit demi sedikit ke arah muka dengan cara meniup-niupkan angin ke wajah, mencoret wajah dengan spidol, botol air minum yang diisi dengan cairan lain, kuping disentil, dan beberapa perilaku verbal.