TEMPO.CO, Jakarta - Perempuan penyandang disabilitas adalah salah satu kelompok yang rentan mengalami kekerasan atau pelecehan seksual. Kelompok ini juga diketahui menjadi kelompok yang rentan mengalami kekerasan finansial, verbal dan psikologis, baik di lingkungan pribadi maupun ranah publik.
Baca: Kasus Ibu Nuril, Tips Menghadapi Pelecehan Seksual Verbal
"Perempuan disabilitas harus langsung melapor, tidak boleh diam," ujar Ketua Persatuan Tunanetra Indonesia, Aria Indrawati, saat dihubungi Tempo, Senin 26 November 2018.
Menurut Aria, tidak hanya berani bersuara, untuk menghindari kekerasan dan pelecehan, perempuan disabilitas harus membekali diri dengan pengetahuan, kemampuan, kemandirian dan kesadaran tentang kesetaraan, bahwa dalam sebuah relasi tidak ada yang lebih berkuasa.
Aria mencontohkan, kesetaraan dalam sebuah relasi dapat terwujud bila perempuan dengan disabilitas berdaya. "Pemberdayaannya tentu melalui pendidikan, memiliki keterampilan, akses informasi dan pengetahuan, serta sumber penghasilan dan menjadi manusia yang merdeka," ujar Aria.
Bagi perempuan penyandang disabilitas yang mengalami kekerasan seksual, psikologis, verbal, ataupun finansial, Aria mengatakan, dapat melapor ke beberapa lembaga advokasi. Di antaranya LBH APIK, LBH, organisasi penyandang disabilitas seperti HWDI, Pertuni, ke sekolah atau orang tua, dan tentu saja kepolisian.
Baca juga: Zaskia Gotik Mengaku Pernah Disawer Recehan dan Dilecehkan
Dian Novita dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan atau LBH APIK menyatakan pencegahan kekerasan terhadap perempuan juga harus didukung secara sistematis. "Semua pihak harus mengubah paradigma bahwa perempuan itu bukan objek seksual," ujar Dian.
Dia juga menyoroti kekerasan seksual yang kerap terjadi di institusi pendidikan. Sebab, dalam kurun 2017 sampai 2018 LBH APIK menerima dan mengadvokasi enam kasus kekerasan seksual yang mengemuka, terutama di ranah pendidikan, dan salah satu kasusnya terjadi pada perempuan penyandang disabilitas.
Karena itu, menurut Dian, harus ada payung hukum yang dapat menjerat pelaku kekerasan seksual dan kekerasan terhadap perempuan. "Semua instansi, terutama institusi pendidikan memiliki regulasi baik yang dibuat secara internal atau berdasarkan kebijakan Menteri Pendidikan, mengenai mekanisme ancaman bagi pelaku kekerasan seksual dan kekerasan terhadap perempuan," ujar dia.
Artikel lainnya: Mengalami Pelecehan, Lapor Polisi atau Curhat di Media Sosial?