TEMPO.CO, Klaten - Seorang pelatih atlet difabel harus menguasai ilmu cabang olahraga yang diampu serta berpengalaman menjadi atlet. Selain itu, mereka dituntut memiliki tingkat kesabaran yang tinggi dan lebih sensitif terhadap kebutuhan khusus atletnya.
Baca: Atlet Tunanetra Berlaga di Cabang Atletik Lompat Jauh, Caranya...
"Kalau menegur jangan dengan cara kasar, jangan sampai melukai perasaannya," kata Tomy Priya Dinata, 24 tahun, pelatih atlet difabel lompat jauh asal Desa Sobayan, Kecamatan Pedan, Kabupaten Klaten, saat ditemui Tempo pada Kamis, 22 November 2018.
Tomy adalah satu dari empat pelatih cabang olahraga atletik yang ditunjuk National Paralympic Committee (NPC) Klaten untuk Pekan Paralimpik Provinsi (Peparprov) Jawa Tengah III/2018 di Kota Surakarta pada 13 - 16 November lalu. Dari 32 atlet difabel asal Klaten yang mengikuti di Peparprov Jateng 2018, empat di antaranya bertanding di nomor lompat jauh.
Tomy mengatakan, sebagian atlet difabel Klaten yang bertanding di cabang atletik Peparprov Jateng 2018 terbilang masih baru. "Kalau latihan ada yang telat, ada juga yang enggak datang. Tapi kami (pelatih) harus sabar dan terus memberikan semangat kepada mereka, jadi kayak ngemong (mengasuh)," kata Tomy yang baru lulus S1 Pendidikan Kepelatihan Olahraga Universitas Sebelas Maret Surakarta pada April lalu.
Untuk menanamkan kedisiplinan kepada para atlet difabel, Tomy biasanya memberikan arahan di sela sesi diskusi sebelum latihan selesai. "Saya selalu mengingatkan bahwa mereka berjuang untuk keberhasilan diri sendiri. Pelatih hanya menerapkan ilmu yang dipunyai untuk meningkatkan performa atlet," kata Tomy.
Meski demikian, Tomy tidak memungkiri ada saja atlet difabel yang terbilang bandel atau tidak menuruti arahan pelatih. "Biasanya saya tegur langsung sambil tetap memberikan motivasi. Kalau masih bandel, ya saya bilang akan lapor ke Pak Sri Mulyo (Ketua NPC Klaten). Kalau sudah begitu, biasanya langsung menurut," kata Tomy sambil tersenyum.
Artikel lainnya:
Cara Atlet Tunanetra Ikut Lomba Lari, Kuncinya di Guide Runner
Untuk atlet penyandang retardasi mental (tunagrahita), Tomy harus lebih berhati-hati jika akan mengoreksi atau menegur. "Untuk atlet tunagrahita agak sulit menerima penjelasan, jadi musti pelan-pelan penyampaiannya. Harus terus disemangati, jangan sampai putus asa," kata Tomy.
Selain dituntut sabar, pelatih atlet difabel juga harus mampu menakar porsi latihan setiap atlet, tergantung dari keterbatasan mereka. "Volume dan program-program latihan bagi atlet difabel rata-rata 70 sampai 75 persen, tidak maksimal 100 persen seperti atlet umum," kata Tomy yang mengampu empat atlet difabel lompat jauh.
Pelatih atlet difabel lompat jauh lainnya, Atto Kurniawan, 29 tahun, punya cara tersendiri untuk menegur atlet yang bandel atau tidak menuruti instruksinya. "Tidak saya tegur, tapi saya diamkan. Atlet sudah hapal apa sebab saya diam. Tapi kalau mereka sudah memperbaiki kesalahannya, ya sudah, biasa lagi," kata Atto yang menjadi asisten pelatih lompat jauh saat Pemusatan Latihan Nasional (Pelatnas) untuk Asian Para Games 2018.