TEMPO.CO, Klaten - Menjadi tunanetra bukan alasan untuk menyerah pada kegelapan lantas menggantungkan hidup pada belas kasih orang lain. Prinsip itulah yang terus dipegang Sartono, 55 tahun, penyandang disabilitas netra asal Kabupaten Klaten yang setia menekuni pekerjaan sebagai perajin patung berbahan kertas selama hampir separuh usianya.
Baca juga:
Apa saja Fasilitas yang Diperlukan Tunanetra di Perpustakaan
"Sudah 25 tahun saya membuat patung. Tapi beberapa bulan ini sedang sepi, belum ada pesanan lagi," kata Sartono saat Tempo bertandang ke tempat tinggalnya di Kampung Sekalekan, Kelurahan Kabupaten, Kecamatan Klaten Tengah, pada Rabu, 7 November 2018. Sartono bersama istri dan anak semata wayangnya yang berumur 14 tahun dan memiliki keterbatasan intelegensi tinggal di sebuah rumah berlantai dua di tepi Jalan Pemuda, beberapa meter di barat Alun-alun Kota Klaten. Oleh sang pemilik rumah, Sartono dipercaya menjaga dan merawat rumah untuk indekos para karyawan toko itu.
Di garasi rumah itulah Sartono biasa mengerjakan patung-patung dengan bermacam bentuk dan ukuran, mulai dari patung manusia, hewan, hingga miniatur bangunan. Seluruh proses pembuatan patung itu dia kerjakan sendiri, mulai dari menganyam bambu menjadi rangka, membalut dan menata bentuknya menggunakan kertas sak semen dan koran bekas, hingga pengecatan pada tahap akhir.
"Saya tidak menggunakan bubur kertas karena mesti dipahat, sedangkan mata saya tidak bisa melihat. Jadi kertas-kertas itu langsung saya balutkan pada rangkanya kemudian dilem. Lemnya saya buat dari tepung kanji. Setelah dijemur, saya balut kertas lagi. Begitu terus sambil dibentuk-bentuk pakai tangan,” kata Sartono yang bertubuh kurus namun akrab disapa Pak Gendut oleh tetangganya.
Sartono, 55 tahun, tunanetra pembuat patung di Kampung Sekalekan, Kelurahan Kabupaten, Kecamatan Klaten Tengah, Kabupaten Klaten, pada Rabu, 7 November 2018. Dinda Leo Listy / KLATEN
Untuk menyelesaikan satu patung seukuran tubuh manusia, Sartono membutuhkan waktu sekitar sebulan. Sedangkan patung-patung hewan seperti anjing, kuda, dan harimau yang berukuran lebih kecil, bisa dia kerjakan selama dua pekan. Harga patungnya bervariasi, berkisar Rp 200 ribu sampai Rp 400 ribu. "Tergantung ukuran dan tingkat kerumitannya," kata Sartono.
Sartono biasanya menerima banyak pesanan patung setiap menjelang Agustus. Selain untuk karnaval perayaan hari ulang tahun kemerdekaan RI, patung-patung kertas itu juga sering digunakan sebagai penghias gardu atau panggung kesenian di desa-desa. Tidak sedikit pula yang memesan patung buatan Sartono untuk hiasan di taman atau teras rumah.
Baca juga: Cara Tunanetra Bermain Catur
Sartono bukan disabilitas netra sejak lahir. Namun sejak berusia 9 tahun, kemampuan penglihatannya lambat laun menurun sampai hilang sama sekali. "Waktu sekolah, saya duduk di bangku belakang, lalu pindah ke tengah, duduk di bangku paling depan, sampai duduk tepat di depan papan tulis hingga akhirnya total tidak bisa melihat. Banyak guru menyayangkan kondisi saya karena dulu saya termasuk siswa yang pintar," kata Sartono mengenang masa kecilnya.
Meski akhirnya menyandang disabilitas netra, Sartono tetap melanjutkan pendidikannya di sekolah yang sama hingga lulus SD. "Tapi saya tidak lanjut ke SMP karena cita-cita dan keinginan merantau sudah pupus semua. Saya lalu bekerja jadi kuli bangunan. Tugas saya membuat adonan semen, menata batu-bata, dan apa saja yang bisa saya kerjakan dengan keterbatasan ini," kata Sartono.
Artikel lainnya: Kesulitan Teman Disabilitas Saat Berurusan dengan Bank
Selama tiga tahun menjadi kuli bangunan, Sartono juga mencari keahlian lain. Dan, pilihannya jatuh pada teknik membuat patung dari kertas. "Ada tetangga saya yang punya usaha kerajinan patung kertas. Saya ikut belajar. Awalnya cuma pegang-pegang, lalu saya coba membikin sendiri di rumah," kata Sartono.
Setelah menikah pada usia 40 tahun, Sartono juga sempat mencari tambahan penghasilan dengan berjualan minyak tanah. Namun, usaha tersebut tidak bertahan lama setelah harga minyak tanah mulai meroket dan dia membutuhkan banyak biaya untuk berobat anaknya. "Sekarang anak saya masih bersekolah di SLB," kata Sartono.