TEMPO.CO, Solo - Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi, peranan braille atau sistem tulisan sentuh untuk penyandang disabilitas netra lambat laun bisa tergantikan oleh kecanggihan bermacam aplikasi yang tertanam pada komputer atau gawai.
Baca juga:
Penyandang Disabilitas Indonesia Pertama di Komite HAM PBB
"Sebagai difabel netra saya sebenarnya agak sedih kami identik dengan braille. Tapi coba tanyakan pada generasi muda di Kota Solo yang disabilitas netra, mereka terbiasa pakai braille atau tidak?" kata Yulianto, seorang aktivis yang tergabung dalam Difalitera, proyek nirlaba di Kota Solo yang memproduksi audiobook sastra bagi disabilitas netra saat ditemui Tempo, Sabtu 1 September 2018.
Dari pengalamannya selama aktif di sejumlah organisasi, yayasan, dan komunitas penyandang disabilitas netra, Yulianto mengatakan, tidak sedikit generasi muda difabel netra di Solo kewalahan ketika membaca tulisan yang tercetak dalam huruf braille. "Untuk membaca satu paragraf saja mereka bisa menghabiskan waktu sekitar 20 sampai 30 menit," kata Yulianto.
Menurut Yulianto, ada beberapa faktor yang mempengaruhi penggunaan braille kian luntur di kalangan penyandang disabilitas netra muda di Solo. Pertama, sebagian besar dari mereka tak bisa melihat karena kecelakaan atau penyakit saat beranjak dewasa. Akibatnya, kepekaan dalam meraba huruf braille tidak sekuat mereka yang disabilitas netra sejak lahir.
Faktor kedua, Yulianto berujar, mayoritas penyandang disabilitas netra masuk dalam generasi milenial yang lahir pada 1980 - 1990-an dan generasi Z yang lahir pada periode 1995 - 2014, tumbuh dan besar dalam era kebangkitan teknologi digital. "Dalam sistem pendidikan inklusif, SMP dan SMA di Solo yang menerima siswa disabilitas netra juga jarang menggunakan braille. Jadi kalau siswa biasa pakai buku, siswa tunanetra pakainya laptop. Sebab banyak tugas atau ujian yang dikerjakan di email, setelah selesai langsung dikirim," ujar Yulianto.
Penyandang disabilitas mengaji Al Quran Braille di Wyata Guna, Bandung, Jawa Barat, 18 Mei 2018. TEMPO/Prima Mulia
Yulianto menambahkan, braille memang masih menjadi standar pendidikan dasar bagi difabel netra. Namun, braille pada masa kini hanya sekadar diperkenalkan tapi tidak terlalu sering diterapkan. "Braille sekarang hanya sebatas simbol. Braille paling digunakan untuk surat suara saat pemilu atau hanya tertera pada produk-produk tertentu," kata Yulianto.
Meski menguasai penggunaan braille, Yulianto mengaku lebih nyaman dan leluasa menulis atau membaca dengan bantuan beberapa aplikasi di komputer atau gawai. "Menulis pakai braille bisa menghabiskan 3 sampai 4 lembar kertas, sedangkan di laptop cukup satu halaman saja," kata Yulianto.
Yulianto termasuk penyandang disabilitas netra saat dewasa, yakni setelah lulus SMA. "Dulu mata saya normal, tapi jadi melepuh karena overdosis obat dari dokter sehingga akhirnya tertutup selaput," kata Yulianto. Setelah belajar di Widadi Skill Center Solo, lembaga pelatihan kerja bagi difabel netra di Solo, Yulianto kini mahir mengoperasikan komputer dan gawai.
Penyandang disabilitas netra yang aktif di Pusat Pengembangan dan Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat atau PPRBM Solo, Agatha Febriany mengatakan majalah atau buku bacaan yang dicetak dalam huruf braille selama ini juga kurang populer di kalangan difabel netra muda karena jumlahnya sangat terbatas.
"Dulu saya masih sering membaca majalah braille dari Balai Penerbitan Braille Indonesia atau BPBI Abiyoso Cimahi di Dinas Sosial Solo," kata alumnus jurusan Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta yang menjadi difabel netra karena glukoma yang dideritanya saat kuliah semester akhir, ini.
Namun demikian, Agatha melanjutkan, muatan sastra dalam majalah yang biasa dihibahkan ke Sekolah Luar Biasa dan panti-panti difabel netra sangat terbatas. Sedangkan buku-buku sastra yang dicetak dalam huruf braille mayoritas hanya roman-roman klasik seperti Siti Nurbaya dan lain-lain.
Demi melanjutkan kegemarannya membaca karya sastra, Agatha kini juga mengandalkan aplikasi pembaca layar atau screen reader di komputer dan gawai. "Memang ada beberapa karya sastra yang juga diterbitkan dalam bentuk audiobook. Tapi tidak sedikit yang berbayar," kata Agatha.
Artikel lainnya:
7 Persiapan Penyandang Disabilitas Sebelum Travelling
Kisah Penyandang Disabilitas Ditolak Saat Mau Donor Darah