TEMPO.CO, Jakarta - Memiliki keterbatasan bukan berarti mempersempit ruang gerak. Para penyandang disabilitas juga bisa melakukan mobilitas menggunakan berbagai sarana transportasi, salah satunya pesawat.
Baca juga:
Menilik Prajurit TNI Disabilitas di Pusat Rehabilitasi Kemenhan
3 Syarat Rumah Ramah Disabilitas, Awas Lantai dan Desain Ruangan
Pengamat penerbangan, Alvin Lie mengatakan salah satu pemahaman yang keliru tentang penyandang disabilitas di bidang transportasi udara adalah menganggap mereka sakit. Lantaran status 'sakit' ini, maka penumpang disabilitas kerap diminta mengisi dan menandatangani formulir yang melepaskan maskapai tersebut dari tanggung jawab jika terjadi sesuatu.
"Padahal formulir ini sebenarnya hanya berlaku untuk orang sakit," tulis Alvin Li dalam buku berjudul 'Fasilitas dan Prosedur Pelayanan Angkutan Udara Bagi Penumpang Berkebutuhan Khusus' yang terbit pada 2018.
Dia menjelaskan, penyandang disabilitas tidak dapat digolongkan sebagai orang sakit, sehingga perlakuan mengisi formulir sakit tadi tidak dibenarkan oleh peraturan nasional maupun internasional. Beberapa peraturan yang dimaksud oleh Alvin Lie adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Seorang pegiat difabel dari Yogyakarta, Ida Fitri mengatakan pernah diwajibkan salah satu maskapai penerbangan untuk menandatangani formulir sakit ini. Sebagai Little People, Ida bukan orang sakit dan tidak menggangu jalannya penerbangan. Apalagi dia bisa berjalan sendiri di lorong pesawat.
"Saya mendesak surat pernyataan sakit ini dihapuskan di semua maskapai dan kebijakan ini disosialisasikan ke semua staf di lapangan," ujar Ida kepada Tempo, Sabtu 18 Agustus 2018. Dalam proses sosialisasi itu, Ida menyarankan maskapai penerbangan sampai ground staf mengikutsertakan penyandang disabilitas agar mereka memahami bagaimana cara melayani penumpang disabilitas.
Beberapa tahun lalu seorang penumpang disabilitas ditolak terbang oleh sebuah maskapai penerbangan saat hendak bertolak ke Jenewa. Penumpang tersebut adalah Dwi Ariyani, pengguna kursi roda yang juga aktif dalam advokasi hak penyandang disabilitas.
Dwi ditolak terbang karena tanpa pendamping alias seorang diri. Padahal dia sudah mengikuti prosedur penerbangan dengan benar, bahkan diantar oleh ground staff ke atas pesawat. Namun saat berada di dalam kabin pesawat, kru maskapai penerbangan itu tak membolehkan dia terbang sehingga Dwi diturunkan kembali.
Dwi kemudian membawa kasus ini ke pengadilan. Pada April 2018 di tingkat kasasi, hakim Mahkamah Agung memenangkan Dwi Ariyani dan mengharuskan maskapai penerbangan itu membayar sejumlah kerugian.